Jakarta, CNN Indonesia -- Para diplomat Korea Utara beberapa kali tertangkap berupaya menyelundupan minuman keras ke Pakistan. Miras ini akan dijual di pasar gelap untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di negara tersebut.
Dikutip
Voice of America pekan ini, para diplomat Korut menyalahgunakan kekebalan diplomatik mereka untuk pelanggaran hukum. Selain memenuhi kebutuhan hidup, uang penjualan miras ilegal ini juga disinyalir untuk membayar "setoran" ke pemerintah Pyongyang.
Bukan sekali atau dua kali peristiwa ini terjadi. Menurut sumber pemerintah Pakistan, sedikitnya ada 10 kasus perdagangan miras ilegal yang melibatkan diplomat Korut sejak tahun 2009.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus terbaru terjadi pada April lalu saat seorang diplomat Korut di Karachi tertangkap saat membawa 855 kotak miras bebas-bea, hampir dua kali lipat jumlah yang diperbolehkan.
Sumber Pakistan pada Selasa (7/6) lalu menyebutkan identitas diplomat itu, yaitu Kang Song Gun, penasihat perdagangan di Konsulat Korut di Karachi.
Kasus sebelumnya terjadi pada April 2015. Saat itu seorang diplomat Korea dan istrinya tertangkap basah menjual miras di luar lokasi pembangunan perumahan menteri pertahanan di Karachi. Sejak tahun 2013, aduan soal praktik diplomat Korut ini telah mengemuka.
Pada Mei 2015, diplomat Korut Koh Hak Chol, wakil ketiga di konsulat, ditangkap petugas imigrasi karena membawa miras melebihi kuota.
Koh sempat diinterogasi selama beberapa jam, namun dibebaskan karena memiliki kekebalan diplomatik.
Menurut sumber VoA, berjualan miras di pasar gelap merupakan sumber keuangan yang penting bagi diplomat Korut. Padahal di Pakistan penjualan miras sangat dilarang.
Amerika Serikat pada Maret lalu menyerukan negara-negara untuk waspada pada praktik ini, dengan mengutip resolusi Dewan Keamanan PBB.
"Resolusi DK PBB 2270 secara spesifik menekankan pentingnya mewaspadai diplomat DPRK [Korut] yang melakukan kegiatan terlarang, dan mewajibkan negara-negara anggota untuk mengusir diplomat Korut yang terlibat dalam pelanggaran sanksi," kata Katina Adams, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS.
(ama)