Jakarta, CNN Indonesia -- Nama Omar Mateen seketika mencuat ketika ia melakukan penembakan yang menewaskan 50 orang di Pulse, kelab malam gay di Orlando, Amerika Serikat, pada Minggu (12/6) dini hari dan diduga berbaiat kepada ISIS.
Namun mantan istrinya, Sitora Yusufiy, sudah melihat gelagat Mateen memiliki gangguan kejiwaan karena sering menumpahkan amarah melalui kekerasan sejak dulu.
Dalam jumpa pers yang disiarkan
CNN, Yusufiy menuturkan kisah kasihnya bersama Mateen yang berakhir dengan perceraian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yusufiy menuturkan bahwa pada saat pertama bertemu di dunia maya tujuh tahun lalu, Mateen sebenarnya terlihat seperti orang biasa, suka bercanda, dan mencintai keluarga.
"Namun kemudian, beberapa bulan setelah kami menikah, saya melihat ketidakstabilannya. Saya melihat dia bipolar dan dia bisa tiba-tiba marah tanpa alasan. Saat itulah saya mulai khawatir atas keselamatan saya," ujar Yusufiy.
Sejak saat itu, Mateen sering kali menganiaya Yusufiy secara fisik. Yusufiy juga dilarang berbicara dengan keluarganya.
Hingga akhirnya, keluarga Yusufiy turun tangan langsung untuk menyelamatkannya. "[Keluarga saya] harus menarik saya dari tangannya dan mencari penerbangan darurat. Saya membuat laporan kepolisian," tuturnya.
Mereka akhirnya bercerai pada 2011.
Ketidakstabilan Mateen juga terendus oleh orangtuanya sendiri yang mengatakan bahwa anak mereka pernah mengekspresikan kemarahan setelah melihat dua pria berciuman di Miami.
Asisten Agen Khusus Badan Investigasi Federal AS (FBI), Ronald Hopper, juga mengatakan bahwa pihaknya sudah mengenal Mateen.
FBI pernah mewawancarainya dua kali, pada 2013 dan 2014 setelah ia mengekspresikan simpati kepada seorang pelaku pengeboman.
"Wawancara itu ternyata tidak mengarah kepada kesimpulan apa pun, jadi tidak ada yang bisa membuat investigasi terus dilakukan," ujar Hopper.
Maka, ketika Mateen mendatangi kelab Pulse pada Minggu sekitar pukul 02.00 dan mulai melepas tembakan, ia tidak sedang di bawah penyelidikan dan tidak diawasi. Pria yang sejak 2007 bekerja sebagai sekuriti di perusahaan G4S itu pun bebas membeli senjata secara legal, sekitar dua pekan sebelum insiden penembakan.
Mateen akhirnya tewas di tangan polisi sekitar tiga jam setelah aparat menyerbu bangunan dengan kendaraan bersenjata dan granat kejut.
(stu)