Jakarta, CNN Indonesia -- Delapan pengungsi Suriah ditembak mati oleh penjaga perbatasan Turki ketika mencoba melarikan diri dari negara mereka dan memasuki Turki pada akhir pekan lalu.
Diberitakan
The Guardian pada Minggu (19/6), delapan pengungsi itu terdiri dari tiga anak, empat perempuan dan satu laki-laki. Mereka tewas ditembak pada Sabtu (18/6) malam, menurut laporan kelompok pemerhati perang Suriah, Syrian Observatory for Human Rights.
Observatory mencatat bahwa sejak awal tahun ini, sudah ada 60 pengungsi Suriah yang ditembak mati di perbatasan Turki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendiri Observatory, Rami Abdelrahman memaparkan bahwa enam dari delapan pengungsi yang tewas ditembak itu berasal dari satu keluarga.
"Saya mengirim aktivis kami ke rumah sakit di sana, kami memiliki video [yang memperlihatkan jasad mereka], tapi kami belum mempublikasikannya karena terdapat jasad anak-anak," ujarnya.
Komite Koordinasi Lokal, jaringan aktivis di wilayah Suriah, mendukung laporan Observatory dan menyatakan bahwa salah satu anak berusia enam tahun.
Pengungsi Suriah kerap kali menyebrang secara ilegal melalui perbatasan Turki. Padahal, otoritas Turki, Yordania dan Libanon menegaskan bahwa para pengungsi Suriah tidak dapat menyebrang langsung ke wilayah mereka secara hukum.
Berbagai laporan penembakan pengungsi di perbatasan Suriah sudah muncul setidaknya sejak 2013. Berbagai kelompok hak asasi khawatir insiden penembakan ini akan meningkat sejak negara-negara Eropa bersepakat dengan Turki untuk membendung arus imigrasi ke Benua Biru itu.
Dalam dua tahun terakhir, sekitar 1 juta pengungsi, setengahnya diperkirakan berasal dari Suriah, mencapai Eropa. Dalam kesepakatan pengungsi antara Uni Eropa-Turki yang ditandatangani pada 18 Maret lalu, Turki berjanji akan menampung semua pengungsi yang mencapai Yunani.
Dalam beberapa bulan terakhir, Turki menghentikan penerbangan sejumlah pengungsi Suriah di Yordania dan Libanon yang tak memiliki visa ke negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan itu.
"Para pejabat Uni Eropa harus mengakui bahwa tindakan keras mereka untuk mencegah pengungsi memasuki Uni Eropa memberikan Turki lampu hijau untuk menutup perbatasan, membuat para pencari suaka dari daerah berkonflik tak punya tempat untuk bernaung," bunyi pernyataan dari Human Rights Watch setelah terdapat laporan penembakan di perbatasan pada Maret lalu.
Seorang pejabat senior Turki yang tak ingin identitasnya dipublikasikan mengatakan pihaknya tengah menyelidiki insiden penembakan tersebut, "tidak dapat secara independen memverifikasi klaim tersebut."
"Turki memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi di Suriah dan mengikuti kebijakan pintu terbuka [bagi pengungsi], yang berarti kita mengakui pengungsi yang hidupnya berada di bawah ancaman," katanya.
Turki tengah membangun tembok di sepanjang perbatasan di wilayah selatan, sehingga sulit bagi pengungsi Suriah untuk mencapai negara itu dengan selamat.
Diplomat Turki menyatakan bahwa kebijakan ini diterapkan semata-mata khawatir atas penyusupan kelompok militan ISIS, dan bukan sikap anti terhadap pengungsi
Turki sendiri sudah menampung lebih dari 2,7 juta pengungsi Suriah, lebih banyak dari negara manapun di dunia. Turki juga menampung pengungsi dari negara lain, sehingga total pengungsi di negara itu mencapai 3 juta orang.
Meski demikian, kelompok pemerhati HAM melaporkan bahwa sebagian besar pengungsi Suriah tidak memiliki hak untuk bekerja di Turki. Sementara, pengungsi anak Suriah memang dapat bersekolah di Turki, namun dalam prakteknya, Unicef memperkirakan sekitar 325 ribu pengungsi anak Suriah yang berada dalam usia sekolah tidak memiliki akses pendidikan. Sebagian besar dari mereka dipaksa untuk bekerja.
Amnesty dan Human Rights Watch melaporkan bahwa Turki telah mendeportasi sejumlah pengungsi Suriah kembali ke wilayah utara Suriah, wilayah di mana ISIS, pemberontak, dan pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad, afiliasi al-Qaidah, serta pasukan Kurdi bertempur untuk memperebutkan wilayah.
(stu)