Jakarta, CNN Indonesia -- “Saya bilang ‘Mengapa tidak?’ Saya akan berikan semua uang saya, biarkan kami tinggal,” kata perempuan itu sambil menangis.
Rehab Almfti Suhil, 38, tiba bersama seorang temannya di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Damaskus akhir April lalu.
Sambil berurai air mata, ia menceritakan pengalamannya ketika ditolak masuk Indonesia setelah menjejak Bandara Internasional Soekarno-Hatta beberapa hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia merupakan salah satu warga Suriah yang hendak mencari suaka ke Jerman, melalui Indonesia.
“Kami tiba di bandara [Soekarno-Hatta] tanggal 24 April pukul 08.00 pagi dan masuk ke imigrasi. Mereka tanya mengapa saya ke sini. Waktu mereka melihat saya dari Suriah, mereka masukkan kami ke dalam ruangan dan mereka meninggalkan kami,” ujar Suhil.
Ia mengatakan bahwa datang dengan visa turis, karena sudah memiliki janji wawancara dengan Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.
Ketika petugas datang beberapa menit kemudian, “Saya perlihatkan berkas,
appointment dengan Jerman, lalu kami ditinggal lagi,” ceritanya.
Ketika kembali, petugas bandara menanyai berapa banyak uang yang ia bawa. “Saya punya tiga ribu dolar, tapi saya takut jadi saya bilang saya punya dua ribu dolar,” ujarnya terbata-bata. “Tapi mereka hanya mengatakan ‘No, no no,’ saya bertanya mengapa, namun tidak ada penjelasan lagi.”
Ia mengaku menawarkan memberikan uang kepada petugas yang menanyainya, namun ditolak. Petugas kemudian menghadirkan penerjemah, yang meminta ia mengemasi barang-barang dan meninggalkan bandara.
 Rehab Almfti Suhil dan Nehad Abd al-Wahab, dua warga Suriah ketika mendatangi KBRI Damaskus pada akhir April. (CNN Indonesia/Ike Agestu) |
Suhil berangkat ke Indonesia membawa dua anaknya, berusia 10 dan delapan tahun. Sedang temannya, Nehad Abd al-Wahab, membawa bayinya yang masih berusia delapan bulan.
Kedua perempuan asal Aleppo itu ingin menyusul suami mereka yang sudah delapan bulan lebih dulu berada di Jerman. Namun Kedutaan Jerman di Damaskus telah tutup tak lama setelah konflik meletus. Untuk itu, mereka yang biasanya ingin menyusul anggota keluarga di Jerman membuat permohonan masuk Jerman ke kedutaan-kedutaan Jerman di negara lain.
Kedutaan Jerman di Libanon selama ini menjadi tujuan utama karena faktor kedekatan dengan Suriah. Namun, antrian panjang di kedutaan Jerman di Beirut itu akhirnya membuat banyak warga Suriah yang ingin mencari suaka harus menunggu berbulan-bulan. Kedutaan Jerman di Indonesia, yang relatif sepi, akhirnya menjadi salah satu pilihan mereka yang ingin ke Jerman.
Jika sudah mencapat visa ke Jerman, mereka biasanya punya dua pilihan. Langsung berangkat ke Jerman dari Indonesia, atau kembali lagi ke Suriah, lalu kelak berangkat dari Libanon.
“Visa diberikan oleh KBRI ada beberapa jenis, bisnis, kunjungan, atau diplomatik. Untuk yang ke Jerman, diberi visa kunjungan. Dan itu diberikan hanya untuk
family reunion, artinya yang suaminya atau orangtuanya sudah di Jerman,” ujar Pejabat Penerangan Sosial Budaya di Kedutaan Besar RI di Damaskus, AM. Sidqi.
Ia mengatakan dalam beberapa bulan terakhir, memang terjadi pelonjakan pengajuan visa warga Suriah ke Indonesia yang memiliki janji dengan Kedutaan Jerman di Jakarta. “Dulu seminggu ada lima [pengajuan visa], sekarang sehari bisa sampai 30,” kata Sidqi.
Menurut Sidqi, hingga saat itu, penolakan warga Suriah yang sudah memiliki visa Indonesia sudah 9 kali terjadi.
“Padahal visa itu diberikan perwakilan, mengapa ditolak Dirjen Imigrasi? Harusnya ada penjelasan kepada yang memberikan visa, yakni pihak Konsuler KBRI,” ujarnya.
Sebelumnya, tujuh perempuan yang ditemani oleh tujuh anak-anak mereka pernah ditolak masuk ke Indonesia pada 19 April 2016.
Dalam surat yang ditujukan kepada KBRI, ketujuh perempuan itu menceritakan bahwa awalnya, mereka ditolak masuk Indonesia karena visa mereka dituding palsu.
Mereka menjelaskan maksud kedatangan mereka ke Jakarta, namun tetap tak diberi izin masuk dan harus kembali lagi dengan pesawat yang sama.
“Seorang perempuan dengan seorang anaknya jatuh pingsan karena mereka memaksa kami membawa bagasi dan anak-anak kami dan mewajibkan kami kembali ke pesawat, tak peduli teriakan anak-anak kami dan tangisan kami,” tulis mereka.
Sementara itu, di bagian konsuler KBRI, masih terus berdatangan warga Suriah yang mengajukan visa ke Indonesia.
Nur Musa, misalnya, pada akhir April lalu datang ke KBRI Damaskus untuk mendapat visa ke Jakarta bersama anak bayinya yang berusia delapan bulan. Suaminya telah lebih dulu berada di Jerman dan telah mendapat suaka.
“Suami saya bekerja di Jerman, sekitar 7-8 bulan mereka belajar bahasa Jerman dan akan dipekerjakan sesuai dengan keterampilannya,” ujar Musa.
Ia mengaku sudah mendapat janji wawancara dengan Kedutaan Jerman di Jakarta, lalu berencana kembali lagi ke Suriah dan akan berangkat ke Jerman melaui Beirut.
Musa mengatakan ia akhirnya memilih Kedutaan Jerman di Jakarta karena “Di Kedutaan Jerman di Libanon, Turki dan Yordania, prosesnya bisa setahun.”
Musa, tak seperti rekannya yang bernasib malang, berhasil memenuhi janji wawancaranya di Kedutaan Jerman di Jakarta. KBRI di Damaskus tak menerima laporan soal penolakan ia dan anaknya masuk Indonesia.
 Pemeriksaan pengungsi Suriah di depan Kedutaan Jerman di Jakarta, Senin (20/6). (CNN Indonesia/Teguh Yuniswan) |
Tak ada informasiHeru Santoso, Humas Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI ketika dihubungi CNN Indonesia mengatakan ada beberapa alaskan yang membuat warga Suriah ketika itu ditolak masuk ke Indonesia.
“Awalnya petugas kita tidak tahu mereka siapa. Mereka datang bergerombol, banyak, dan tidak tahu mau ngapain. Mereka hanya bilang mau ke kedutaan Jerman duntuk membuat visa, karena pada saat ini terdapat eksodus besar-besaran orang Suriah di seluruh dunia,
kebayang mereka diterima [masuk] tapi tidak keluar. Jadi tidak ada informasi terlebih dulu. Siapa mereka,” ujar Heru.
Alasan lain, menurut Heru, adanya kekhawatiran jika visa mereka ditolak oleh kedutaan Jerman, lalu terlantar di Indonesia. “Setelah kita cek ke direktur konsuler Kemlu, ternyata KBRI Damaskus tidak menginformasikan bahwa mereka akan mendapat visa karena sudah ada keluarga di Jerman,” ujarnya.
Karena itu, kata dia, semua pengungsi ketika itu dipulangkan. Namun setelah ada informasi lengkap, mereka akhirnya diterima.
“Akhirnya ada kebijakan jika ada orang Suriah datang mereka diterima asal ada orang Indonesia menjadi penjamin jangan sampai mereka terlantar di Indonesia,” ucap Heru.
Penjamin dari IndonesiaSuhil dan Wahab, akhirnya berhasil ke Jerman. Mereka kembali lagi ke Indonesia dengan bantuan pejabat konsuler KBRI, Makhya Suminar, pada pertengahan Mei lalu.
“Ada penjamin,
contact person di Indonesia yg bisa dipercaya, bersedia menjadi penjamin tanpa imbalan apa pun dan memastikan para warga negara Suriah tersebut akan segera meninggalkan Indonesia setelah urusannya di Kedubes Jerman di Jakarta selesai,” ujar Makhya.
Lewat pesan instan, Suhil mengabarkan kepada CNN Indonesia beberapa pekan lalu bahwa ia, suami serta dua anak mereka sudah berkumpul dan masih tinggal di sebuah kamp pengungsian di Kota Dusseldorf, Jerman.
“Kami masih menunggu rumah,” kata dia.
Sementara itu, suaminya yang merupakan ahli farmasi, masih belajar bahasa Jerman. Setelah itu, baru ia akan dipekerjakan sesuai dengan keahliannya.
“Kami punya apotek. Lalu kami kehilangan semuanya karena perang. Ia tak punya pekerjaan, tak punya uang, tak punya rumah,” cerita Suhil soal kehidupan mereka di Suriah sebelum memutuskan berangkat ke Jerman.
Suhil mengaku merindukan kampung halamannya. “Saya merindukan semuanya, teman-teman. Bahkan udaranya,” kata dia.
Meski begitu, ia tak mau kembali, meski jika situasi di Aleppo membaik. “Saya kehilangan semuanya. Saya ingin memulai hidup baru.”
(stu)