Jakarta, CNN Indonesia -- Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) pada hari ini, Selasa (12/7), akan mengumumkan keputusan penting terkait sengketa di kawasan perairan Laut China Selatan.
Seperti dilansir
CNN, tuntutan pengadilan ini diajukan pada 2013 oleh Filipina yang mempertanyakan klaim China atas 90 persen wilayah Laut China Selatan, salah satu jalur pelayaran tersibuk dunia dengan nilai perdagangan mencapai US$5 triliun per tahun.
Klaim China sendiri ditandai dengan sembilan garis putus-putus, atau
nine-dashed line, meliputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang-tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Indonesia di Natuna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
China kerap menangkap ikan di daerah yang mereka anggap masih menjadi wilayah perikanan tradisional mereka, termasuk di Natuna.
Filipina pun meminta pengadilan arbitrase untuk memutuskan hak apa yang dimiliki setiap negara di perairan sengketa tersebut sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hukum Laut (UNCLOS).
Manila meminta pengadilan memutuskan batasan hak setiap negara dari perairan mereka, apakah termasuk sumber daya di dalam perairan, seperti kepulauan dan terumbu karang.
Misalnya, apakah sebuah negara memegang kendali penuh atas semua sumber daya, termasuk ikan, minya, dan gas, bahkan pulau yang berada di Zona Ekonomi Eksklusif mereka.
Namun, kepulauan hasil pembangunan mandiri, seperti Spratley yang dibangun oleh China, tidak diatur dalam UNCLOS.
Meskipun keputusan pengadilan ini mengikat secara hukum, tapi tidak ada mekanisme penerapannya. Menurut
CNN, pasukan PBB tidak bisa memaksa China keluar dari lahan kekuasaannya.
China geram atas tuntutan hukum yang diajukan Filipina. Kemlu China menegaskan, pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi yang relevan dalam sengketa Laut China Selatan.
Para analis juga memperkirakan bahwa hasil pengadilan ini akan memojokkan China. China pun sudah melakukan latihan menembak di perairan sengketa itu menjelang hasil putusan ini.
"Peningkatan kehadiran militer dan aktivitas beberapa negara dapat meningkatkan risiko potensi konflik di kawasan," kata penasihat kebijakan perdagangan dari perusahaan hukum Alston & Bird, Eric Shrimp.
(stu/stu)