Jakarta, CNN Indonesia -- Ulama Turki yang tinggal di pengasingan di Amerika Serikat, Fethullah Gulen, membantah tuduhan Presiden Recep Tayyip Erdogan bahwa dirinya berada di balik percobaan kudeta yang gagal pada akhir pekan ini. Gulen bahkan menyatakan upaya penggulingan Erdogan itu bisa jadi suatu aksi yang direkayasa.
Gullen adalah warga Turki, seorang mantan imam, penulis sekaligus tokoh politik. Pria 75 tahun ini membentuk gerakan politik keagamaan bernama gerakan Gulen, atau yang dikenal dengan nama Hizmet di Turki.
"Ada kemungkinan kecil, bahwa bisa saja hal itu [kudeta] direkayasa," kata Gulen kepada para wartawan melalui seorang penerjemah di tempat tinggalnya di Saylorsburg, Pennsylvania, AS, Sabtu (16/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bisa dilakukan untuk melayangkan sejumlah tuduhan pengadilan dan keterlibatan," ujar Gulen, dikutip dari
Reuters.
Gulen sendiri meminta agar rakyat Turki tidak mendukung upaya kudeta militer seperti yang terjadi pada Jumat (15/7) tengah malam. Ia menilai demokrasi tidak dapat dicapai melalui aksi militer.
"Setelah sejumlah kudeta militer di Turki, saya mengalami tekanan dan dipenjara. Saya menghadapi berbagai bentuk pelecehan. Ketika Turki sudah menuju demokrasi, hal itu [kudeta] tak bisa terulang kembali," ujarnya kepada
The Guardian.
Dalam kesempatan itu, Gulen melayangkan kritik terhadap pemerintahan Erdogan yang telah menuduh bahwa pendukungnya menyetir percobaan kudeta itu.
"Tampaknya mereka tidak memiliki toleransi untuk setiap gerakan, setiap kelompok, atau organisasi apapun yang tidak berada di bawah kontrol total mereka, " katanya.
"Saya tidak yakin dunia akan percaya tuduhan yang dibuat oleh Presiden Erdogan," ucap Gulen.
Ditanya apakah dia akan kembali ke Turki jika percobaan kudeta pada Jumat lalu berhasil, Gulen menjawab, "Tentu. Saya sangat merindukan kampung halaman saya. Namun ada faktor yang lebih penting, yakni kebebasan. Saya di sini, jauh dari persoalan politik Turki dan hidup dengan bebas."
Mengasingkan diri dari Turki, Gulen adalah kawan yang berakhir menjadi lawan bagi pemerintahan Erdogan. Kongsi kedua tokoh ini pecah tahun 2013 saat kasus korupsi mendera keluarga dan para pendukung Erdogan di pemerintahan dan kepolisian.
Erdogan membantah tudingan tersebut dan menuduh Gulen berada di balik fitnah korupsi terhadap dirinya.
Gulen kemudian kabur ke AS, upaya Turki mendeportasinya belum membuahkan hasil.
Mengaku bermazhab Hanafi, Gulen menekankan pengajarannya dengan memadukan agama dengan ilmu pengetahuan alam, mendorong dialog antar agama, serta demokrasi multi partai. Dia menginisiasi dialog dengan Vatikan dan organisasi-organisasi Yahudi.
Pengacara pemerintah Turki, Robert Amsterdam, mengatakan ada indikasi keterlibatan para Gulenis dalam upaya kudeta militer ini. Menurut laporan intelijen yang diterima Amsterdam, ada "tanda-tanda Gulen bekerja sama dengan beberapa petinggi militer untuk melawan pemerintah terpilih."
(ama)