Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menginginkan angkatan bersenjata dan badan intelijen nasional berada di bawah kendali presiden. Langkah ini merupakan salah satu reformasi besar-besaran di kubu militer menyusul percobaan kudeta yang berhasil digagalkan dua pekan lalu.
Keinginan Erdogan itu terungkap usai pertemuan Dewan Agung Militer Turki (YAS), yang dipimpin oleh Perdana Menteri Binali Yildirim dan berlangsung selama lima jam.
Juru bicara Erdogan, Ibrahim Kalin memaparkan hasil pertemuan, bahwa Erdogan menyetujui keputusan dewan bahwa kepala angkatan bersenjata Hulusi Akar tetap menjabat posisinya, begitu juga dengan sejumlah komandan angkatan darat, laut dan udara. Meski demikian, terdapat pergantian pejabat tinggi militer di sejumlah posisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, sebanyak 1.700 personel militer diberhentikan dengan tidak hormat atas peran mereka dalam kudeta pada 15-16 Juli lalu yang menewaskan 246 orang dan melukai sekitar 2.000 orang itu.
"Presiden mengatakan bahwa ia akan membicarakan dengan pihak oposisi untuk menempatkan Staf Jenderal [sebutan untuk militer Turki] dan MIT [badan intelijen] di bawah kendali presiden," kata seorang pejabat parlemen yang tak mau dipublikasikan identitasnya kepada
Reuters, Kamis (28/7).
Perubahan tersebut akan membutuhkan amandemen konstitusi, sehingga partai pimpinan Erdogan, AKP akan membutuhkan dukungan dari sejumlah partai oposisi di parlemen, menurut laporan media Turki.
Di bawah hukum Turki saat ini, baik Staf Jenderal maupun MIT melapor langsung ke kantor perdana menteri. Menempatkan mereka di bawah arahan presiden sejalan dengan seruan Erdogan untuk merancang konstitusi baru yang berpusat pada badan eksekutif negara, yakni presiden.
Erdogan menyebutkan bahwa angkatan bersenjata telah disusupi oleh para pendukung Fethullah Gulen, ulama Turki yang dituding mendalangi kudeta. "Militer harus berhenti menjadi pasukan dari organisasi teroris Fethullah Gulen," kata Menteri Kehakiman Bekir Bozdag.
Selain militer, pemerintah Erdogan juga menutup tiga media, 16 stasiun TV, 45 koran, 15 majalah dan 29 penerbit. Turki juga menutup sejumlah
sekolah dan universitas yang dituduh terkait dengan gerakan yang dibentuk Gulen.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menyatakan lebih dari 300 personel kementeriannya terkait dengan gerakan Gulen dan dia sudah memecat 88 pegawai.
Kantor berita Anadolu menyatakan kantor kejaksaan Ankara meminta penyitaan aset daro 2.049 juri dan jaksa yang ditangkap sebagai bagian dari investigasi percobaan kudeta.
CNN Turk, mengutip data dari kementerian dalam negeri Turki, melaporkan lebih dari 15 ribu orang, termasuk sekitar 10 ribu tentara, ditahan atas dugaan terkait kudeta. Lebih dari 8.000 di antaranya kini menunggu persidangan.
"Kami akan memastikan penghapusan seluruh organisasi teror yang menargetkan negara kami, bangsa kami dan persatuan kami," kata Yildirim.
Menteri Kehakiman Bekir Bozdag sudah mengulangi permintaan Ankara kepada Amerika Serikat untuk mempercepat ekstradisi Gulen. Ia menyatakan bahwa intelijen Turki mengendus bahwa ulama 75 tahun yang kini tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat itu berencana melarikan diri ke negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Turki, seperti Australia, Meksiko, Kanada, Afrika Selatan atau Mesir.
Cavusoglu menyatakan kepada
CNN Turk bahwa sejumlah jaksa yang terkait dengan Gulen sudah melarikan diri ke Jerman dan ia mendesak Berlin mengekstradisi mereka.
Cavusoglu juga mengaki yakin bahwa AS akan merespon cepat permintaan ekstradisi Gulen ke Turki.
Partai AKP yang berkuasa didirikan oleh Erdogan pada 2002 dan memiliki hubungan yang rumit dengan militer. Kubu militer selama puluhan juga mengklaim sebagai penjaga ketertiban sekuler Turki dan warisan bapak bangsa Mustafa Kemal Ataturk. Pihak militer telah menggulingkan empat pemerintahan dalam 60 tahun terakhir.
(ama/stu)