Pembunuhan Marak, Warga Filipina Takut Bahas Perang Narkoba

Amanda Puspita Sari/Reuters | CNN Indonesia
Senin, 05 Sep 2016 14:57 WIB
Publik Filipina dan saksi mata pembunuhan di luar hukum bungkam terhadap praktik yang diperbolehkan Presiden Duterte dalam pemberantasan narkoba ini.
Publik Filipina dan saksi mata pembunuhan di luar hukum bungkam terhadap praktik yang diperbolehkan Presiden Duterte dalam pemberantasan narkoba ini. (Reuters/Czar Dancel)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pembunuhan di luar hukum yang diperbolehkan oleh Presiden Rodrigo Duterte dalam perang pemberantasan narkoba kian hari kian marak. Meski polisi terus menyelidki kasus ribuan penembakan misterius, penyelidikan terhambat oleh keengganan saksi mata bersaksi dan bungkamnya warga Filipina terhadap praktik yang dikecam oleh berbagai kelompok pemerhati HAM ini.

Satu korban tewas dalam aksi pembunuhan di luar hukum adalah Eric Sison, sopir taksi berusia 22 tahun. Jasadnya ditempatkan begitu saja di sebuah daerah kumuh di ibu kota Manila, sebuah tradisi lokal terhadap korban tewas yang pembunuhnya tidak diketahui. Di sebelah jasad Sison terdapat papan bertuliskan, "Dibunuh - Keadilan untuk Eric."

Rekaman video dari tetangga Sison berhasil menangkap saat-saat terakhir kehidupan pria ini. Dalam video itu, terdengar suara Sison berseru, "Jangan lakukan itu, saya akan menyerah!" yang tidak lama disusul dengan suara tembakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sison merupakan salah satu dari lebih dari 2.000 korban tewas dalam aksi pembunuhan di luar hukum dalam perang narkoba yang digalakkan Duterte sejak 1 Juli, menurut data kepolisian Filipina yang dirilis pekan lalu. Sekitar 900 di antaranya tewas ditembak mati dalam penyergapan polisi, sementara sisanya dikategorikan sebagai kematian "yang masih dalam penyelidikan."

Wawancara Reuters mengungkapkan bahwa Layanan Hubungan Internal (IAS) Kepolisian Filipina dan Komisi Hak Asasi Manusia (CHR) kewalahan dalam menyelidikan ribuan kasus pembunuhan tersebut.

CHR misalnya, hanya mampu menginvestigasi 259 dari 2.000 lebih kasus pembunuhan. Tim forensik CHR, yang terdiri dari 14 orang, dan para penyidik mereka hanya mampu menginvestigasi 12 berkas dugaan pembunuhan di luar hukum.

Sementara, Kepala Inspektur Leo Angelo Leuterio, yang mengepalai IAS, menyatakan bahwa sudah menjadi tanggung jawab IAS untuk menyelidiki setiap pembunuhan yang melibatkan anggota kepolisian. Namun, dengan sumber daya hanya 170 penyidik, IAS hanya mampu menangani 30 persen dari rata-rata 30 kasus yang dilaporkan setiap hari.

"Sumber daya kami kewalahan," kata Leuterio.

CHR mengklaim bahwa kendala besar dalam setiap penyelidikan adalah sulitnya menemukan saksi mata yang bersedia memberikan kesaksian. Salah satu saksi yang bersedia adalah Harrah Kazuo, yang melihat sendiri suami dan ayah mertuanya yang dipukuli dan ditembak mati di kantor polisi. Wanita yang kini berada dalam perlindungan CHR ini menyatakan kepada Reuters bahwa polisi menggerebek rumah mereka untuk mencari bukti tanpa surat izin.

Reuters mencoba mendatangi langsung tempat kejadian perkara ketika seorang tersangka narkoba ditembak mati di wilayah kumuh di Tondo, Manila, pada 29 Agustus lalu. Di dalam rumah tersangka yang hanya diisi satu kasur berlumuran darah, Reuters tak dapat menggali keterangan lebih lanjut karena para tetangga korban enggan memberi keterangan.

"Maaf, saya sama sekali tak mendengar suara tembakan," ujar seorang warga ketika ditanyai berapa kali polisi menggerebek rumah tersangka.

Tak hanya saksi mata, publik dan politisi Filipina seakan bungkam terhadap praktik ini. Hanya Senator Leila de Lima yang dikenal kerap mengkritik Duterte atas praktik pembunuhan ini.

"Hanya presiden yang bisa menghentikan ini. Berapa banyak kasus pembunuhan yang harus terjadi sebelum kita mulai menyuarakan hal ini?" ujarnya.

Kian hari, jumlah warga yang termasuk dalam daftar tersangka pemakai atau pengedar narkoba kian banyak, dan disediakan oleh kepala daerah setempat untuk polisi. Daftar tersebut dinilai akan menambah rasa takut publik dan meningkatnya rasa ketidakpercayaan satu sama lain di masyarakat Filipina.

Kantor kepresidenan Filipina belum berkomentar terkait laporan ini. (ama/den)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER