Jakarta, CNN Indonesia -- Barack Obama akhirnya berjabat tangan dan berbincang dengan Rodrigo Duterte setelah hubungan keduanya sempat memanas karena Presiden Filipina itu menyebut Presiden Amerika Serikat "anak pelacur."
Akibat komentar tersebut, Obama membatalkan pertemuan bilateral dengan Duterte yang dijadwalkan diselenggarakan di sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Laos pekan ini.
Komentar ini dilontarkan sebagai peringatan dari Duterte yang tak mau didikte AS dalam kampanye anti-narkoba di negaranya. Duterte menyatakan penyesalan jika pernyataan itu dianggap sebagai serangan langsung kepada pribadi Presiden AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya, kedua pemimpin negara itu berjabat tangan dan berbincang selama sekitar dua menit sembari menunggu masuk ke ruang jamuan makan malam menjelang KTT Asia Timur yang berlangsung paralel dengan KTT ASEAN.
"Saya sangat senang ini terjadi. Ini semua menunjukkan fakta bahwa hubungan antara Filipina dan Amerika Serikat sangat kuat," ujar Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, seperti dikutip
Reuters, Rabu (7/9).
Rekan yang dicalonkan menjadi wakil Duterte dalam pemilu lalu, Alan Cayetano, menggambarkan atmosfer pertemuan itu sangat "hangat dan ramah," sementara seorang pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa, "keduanya melakukan perbincangan ringan."
Sementara itu, Duta Besar Filipina untuk Laos, Marciano Paynor, mengatakan bahwa perseteruan kecil dengan Obama itu merupakan bagian pembelajaran bagi Duterte yang masih mengalami masa transisi dari seorang Wali Kota Davao City menjadi presiden.
"Ia harus mengalaminya. Jika kalian tidak mengalaminya, kalian tidak akan pernah tahu bagaimana menghadapinya dan akan terus bergulat," katanya.
Seperti diberitakan
Reuters, ketegangan seperti ini memang tak biasanya terjadi antara kedua negara, terutama dalam satu konferensi besar.
AS merupakan rekan dagang dan sekutu dekat Filipina. Washington bahkan membela Filipina dalam perseteruan pasca diumumkannya hasil putusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PAC) mengenai sengketa di Laut China Selatan.
Filipina mengajukan tuntutan ke PAC untuk mempertanyakan klaim China yang mencapai 90 persen wilayah Laut China Selatan. Klaim itu tumpang-tindih dengan klaim Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam.
Meskipun hasilnya dimenangkan oleh Filipina, China tetap menolak keputusan tersebut, bahkan tak mengakui keberadaan pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, itu.
China sendiri juga menjadi peserta dalam konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin negara ASEAN, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, Rusia, dan AS tersebut.
(ama)