Jakarta, CNN Indonesia -- Penerima Nobel, Malala Yousfazai, pada Selasa (13/9) meminta pemimpin dunia untuk memberi fasilitas pendidikan di tempat penampungan pengungsi, demi mencegah para gadis untuk menikah dan menjadi buruh sejak dini.
Hal tersebut diungkapkan Malala sepekan menjelang temu puncak pertama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pengungsi, yang digelar Presiden Amerika Serikat Barack Obama di New York, seperti yang dikutip dari
Reuters.
Dalam acara itu, Malala berharap Obama mampu mengajak pemimpin dunia untuk memberi bantuan kepada pengungsi di Lebanon, Turki, Yordania, dan Kenya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengapa kita menghabiskan waktu menyaksikan pemimpin dunia menunjukkan rasa simpatinya, tetapi tidak berkenan melakukan hal yang dapat mengubah masa depan jutaan anak-anak," kata Malala menjelang acara yang akan diselenggarakan pada 20 September mendatang.
Ia lanjut mengatakan, para gadis pengungsi terus menanti kepastian untuk bisa melanjutkan pendidikan.
"Mereka tak hanya berharap dapat bertahan hidup," ujar Malala.
"Anak perempuan punya potensi membangun negaranya agar kembali aman, damai, dan sejahtera. Namun, hal itu hanya dapat dilakukan dengan bekal pendidikan," lanjutnya.
Perang di Suriah, Afghanistan, Burundi, dan Sudan Selatan membuat jumlah pengungsi meningkat pada tahun lalu. Merujuk catatan badan pengungsi PBB, ada sekitar 21,3 juta pengungsi di seluruh dunia, bahkan setengah dari jumlah itu adalah anak-anak.
Laporan dari Yayasan Malala menunjukkan, sekitar 80 persen pengungsi remaja putus sekolah, dan anak perempuan mendominasi jumlah itu.
Yayasan Malala merupakan pegiat yang bergerak di bidang pendidikan. Mereka menyatakna, kalau negara penyuntik dana telah gagal membuktikan komitmen untuk isu pendidikan pada awal tahun ini.
Laporan Yayasan Malala lanjut mengritik negara maju, karena mengalihkan sumber daya jauh dari negara berkembang, seperti, Lebanon dan Turki, sehingga mereka mesti menanggung sendiri biaya pengungsi.
Kesimpulan laporan Yayasan Malala bertujuan untuk mendesak agar negara donor dapat memenuhi janjinya menyediakan dana sebesar US$2,9 miliar hingga September 2019, sebagai dana pendidikan untuk pengungsi anak-anak.
Malala, menjadi pusat perhatian dunia setelah bertahan dari upaya pembunuhan oleh Taliban di Lembah Swat, Pakistan, pada 2012. Gadis yang masih berusia 19 tahun itu lalu mengabdikan hidupnya memperjuangkan hak pendidikan anak-anak perempuan.
Ia mengunjungi kamp pengungsi di Rwanda dan Kenya pada Juli, untuk berbicara dalam sesi kampanye pendidikannya di seluruh dunia. Dalam kunjungannya, Malala mengamati kondisi buruk yang dialami para gadis pengungsi dari Burundi dan Somalia.
Malala menjadi peraih anugerah Nobel termuda pada 2014, atas jasanya mengampanyekan pendidikan untuk anak-anak perempuan di Pakistan.