Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan presiden Israel, Shimon Peres, tutup usia pada selasa (27/9) setelah dua pekan sebelumnya terserang stroke. Meninggal di usia 93 tahun, ia merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan perdamaian Israel dengan Palestina, hingga diganjar Nobel Perdamaian pada 1994 karena turut menggagas Perjanjian Oslo.
Terlahir dari keluarga Yahudi di Polandia pada 1923, Peres dan keluarganya melarikan diri dari penindasan di negaranya ke Palestina, yang saat itu berada di bawah pendudukan Inggris pada 1934, saat ia baru berusia 11 tahun. Pada dekade 1940-an, Peres kemudian bergabung dengan perjuangan Zionis pimpinan Ben Gurion, aktivis yang kemudian menjadi perdana menteri pertama Israel.
Sebagai warga Yahudi yang melarikan diri dari penindasan di Eropa, Peres vokal mendukung pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat pada awal kariernya di dunia politik, hingga ia dijuluki "sang elang."
Namun, pandangan politik Peres perlahan-lahan berubah dan mendukung proses perdamaian dengan Palestina, khususnya melalui kerja sama ekonomi. Julukannya pun berubah menjadi "sang burung merpati," yang melambangkan perdamaian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Shimon Perez dan Yasser Arafat menggagas perdamaian Israel dan Palestina. (Reuters) |
Meski tak mau menggelar pertemuan dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada dekade 1970-an dan 1980-an, sebagaimana banyak tokoh politik Israel saat itu, Peres menghentikan dukungannya kepada para pemukim di Tepi Barat.
Peres kemudian menyerukan solusi perdamaian yang ia sebut "kompromi wilayah" terkait sengketa wilayah antara Palestina-Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Peran Peres yang paling penting dalam upaya perdamaian ini terungkap ketika ia, yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri Israel, menggelar negosiasi rahasia yang mempertemukan pejabat Palestina dan Israel di Oslo, ibu kota Norwegia, pada musim salju 1993.
Menurut catatan
situs resmi Penghargaan Nobel Perdamaian, pertemuan itu menghasilkan Perjanjian Oslo yang bertujuan untuk merekonsiliasi dua negara tersebut. Dalam perjanjian itu, Israel sepakat untuk perlahan keluar dari sejumlah wilayah yang diduduki dan mengakui otoritas Palestina.
Akibat perannya ini, Peres diganjar penghargaan Nobel Perdamaian pada 1994, bersama dengan perdana menteri Israel saat itu, Yitzhak Rabin dan pemimpin Palestina, Yasser Arafat.
 Shimon Perez menandatangani perundingan perjanjian damai Israel-Palestina di Oslo, disaksikan oleh Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat. (Reuters) |
Menyusul pembunuhan Rabin pada 1995, karier politik Peres terus meroket, dengan menjabat sebagai pelaksana perdana menteri merangkap pelaksana menteri pertahanan selama tujuh bulan hingga pemilu tahun 1996. Ia mencoba menggunakan momentum pemilu untuk mengedepankan upaya perdamaian Israel-Palestina.
Encyclopedia.com menyebutkan bahwa dukungan publik terhadap proses perdamaian itu kembali mengendur usai serangan bom bunuh diri yang dilakukan seorang warga Palestina, menewaskan 24 warga Israel. Publik kemudian mendukung Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri.
AFP mencatat, Peres tetap aktif di dunia politik, meneruskan jabatan sebagai menteri luar negeri, dan kemudian terpilih sebagai perdana menteri selama dua periode. Ia terpilih menjadi presiden dari 2007-2014. Selama di dunia politik, Peres tetap mengupayakan perdamaian Palestina-Israel, namun upaya Peres seakan tak berarti karena pemerintahan Netanyahu seperti tak berniat melanjutkan proses perdamaian yang telah dirintis sebelumnya.
Selain berperan mendukung perdamaian Israel-Palestina, Peres juga vokal mendorong perkembangan program nuklir. Israel diyakni memiliki senjata nuklir meski tidak pernah secara terbuka mengumumkannya.
Dalam wawancara dengan
CNN pada 1 Juli 2015, Peres mengaku mendukung kesepakatan nuklir dengan Iran, yang berfokus untuk menghentikan program nuklir di Republik Islam itu. Iran selama ini kerap mengancam akan "membumi hanguskan" Israel dengan serangan nuklir.
(stu)