Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Kolombia akhirnya berdamai dengan kelompok Marxis, FARC. Perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada Senin (26/8) ini mengakhiri pemberontakan FARC selama setengah abad yang menewaskan sekitar 250 ribu orang.
Setelah pembicaraan selama empat tahun di Kuba, Presiden Kolombia Juan Manuel Santos, 65, dan pemimpin FARC Rodrigo Londono, 57, yang dikenal dengan nama Timochenko, berjabat tangan untuk pertama kalinya di tanah Kolombia. Mereka menandatangani perjanjian dengan pulpen yang terbuat dari selongsong peluru.
“Malam kelam penuh kekerasan yang telah menyelimuti kita dengan bayangannya selama lebih dari setengah abad sudah berakhir,” kata Santos sambil menangis. “Kita membuka hati kita ke pagi yang baru, menuju matahari yang penuh akan kemungkinan yang telah terbit di langit Kolombia.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga Kolombia pada Ahad besok akan melakukan pemungutan suara untuk menentukan apakah akan meratifikasi perjanjian itu, namun jajak pendapat menunjukkan hasil yang positif.
Akhir dari perang terpanjang di Amerika Latin itu akan membawa para gerilyawan FARC yang telah berperang sejak 1964 menuju medan baru: politik.
“Tak ada yang boleh meragukan bahwa kita akan terjun ke politik tanpa senjata,” kata Timochenko. “Kami semua siap untuk melucuti senjata di pikiran dan hati kami.”
Merespons perdamaian tersebut, Uni Eropa pada Senin langsung mencabut FARC dari daftar teroris.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry juga mengatakan akan meninjau soal pencabutan FARC dari daftar teroris dan berjanji akan memberi bantuan US$390 juta untuk Kolombia tahun depan demi mendukung perjanjian damai.
Saat-saat terparah dalam pemberontakan FARC ditandai dengan serangan demi serangan yang mengguncang Bogota. Pemberontak mengancam akan mengambil alih ibu kota itu, dan perang antara gerilyawan, paramiliter, geng narkoba serta militer berkecamuk di seluruh negeri, beberapa daerah masih banyak tertanam ranjau darat.
Mantan Presiden Alvaro Uribe dan banyak politikus lain meradang karena perjanjian itu membolehkan pemberontak masuk ke parlemen tanpa lebih dulu mendekam di penjara.
FARC, atau Pasukan Revolusioner Bersenjata Kolombia, dimulai sebagai gerakan para petani. Dalam perjalanannya, FARC menjadi pemain besar dari perdagangan kokain dan pernah memiliki 20 ribu gerilyawan. Kini, sekitar 7.000 gerilyawan harus menyerahkan senjata mereka kepada PBB dalam 180 hari.
Banyak warga Kolombia yang juga mengkhawatirkan integrasi gerilyawan kembali ke masyarakat, namun mayoritas merasa optimis perdamaian akan membawa lebih banyak kebaikan daripada perang berkepanjangan.
“Ini saatnya, sekarang atau tidak selamanya,” kata Melquis Pulecio, 50, seorang pengacara. “Kami lelah akan perang ini—kami lahir untuk berperang.”
Perekonomian Kolombia dalam beberapa tahun terakhir lebih baik dari kebanyakan negara tetangganya, dan perdamaian ini akan membawa dampak positif lagi.
(stu)