Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan bahwa negaranya tidak terlibat dalam upaya untuk mempengaruhi pemilihan presiden Amerika Serikat. Pernyataan ini ditegaskan Putin menyusul pembocoran email tim kampanye capres AS dari Demokrat, Hillary Clinton, oleh WikiLeaks yang diduga bekerja sama dengan pemerintah Rusia.
Pekan lalu, pemerintah AS secara resmi menuduh Rusia meluncurkan kampanye peretasan untuk "mengganggu proses pemilu AS."
Tim Kampanye Clinton juga menuding bahwa Kremlin tengah mencoba membantu capres dari Partai Republik, Donald Trump, untuk memenangkan kursi Gedung Putih pada 8 November mendatang. Tim kampanye Clinton, John Podesta, yang ribuan emailnya dibocorkan WikiLeaks, menuduh tim kampanye Trump bekerja sama dengan Rusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada sebuah forum bisnis di Moskow, Rabu (12/10), Putin menegaskan bahwa Rusia tidak memiliki kepentingan apapun terkait skandal peretasan menjelang pemilu AS. Putin balik menuding bahwa AS hanya menyalahkan Rusia untuk tujuan mereka sendiri
"Mereka memulai histeria ini, mengatakan [peretasan] ini adalah kepentingan Rusia, tapi ini tidak ada hubungannya dengan kepentingan Rusia," kata Putin dikutip dari
Reuters.
Putin menyatakan bahwa pemerintahnya akan bekerja dengan siapa pun yang memenangi pemilu AS, "jika, tentu saja, pemimpin AS yang baru ingin bekerja sama dengan negara kami."
Sementara di Florida, AS, Trump kembali menyatakan bahwa ia tidak ada hubungannya dengan Putin atau Rusia.
"Saya berjanji, saya tidak memiliki penawaran bisnis dengan Rusia," kata Trump di sebuah kampanye di Lakeland.
Hal senada diungkapkan Trump dalam debat dengan Clinton akhir pekan lalu di Missouri. Dalam debat itu, Trump berjanji jika dia terpilih sebagai presiden, dia tak akan segan bekerja sama dengan Rusia memberantas ISIS.
Selain itu, beberapa waktu lalu Trump juga sempat menyatakan bahwa Putin adalah pemimpin yang lebih hebat dari presiden petahana AS, Barack Obama.
Ribuan email tim kampanye Clinton dibocorkan WikiLeaks pekan ini, termasuk dari akun ketua kampanye, John Podesta. Dalam 2.000 email Podesta, diketahui bahwa Clinton pada Agustus 2014 pernah menuliskan email kepada Podesta, berisi tudingan bahwa negara teluk, seperti Arab Saudi dan Qatar, mendanai kelompok militan ISIS.
Sebagian besar bocoran email yang dirilis pada Senin (10/10) meliputi sejumlah pembahasan kebijakan dan strategi dengan staf Clinton soal cara menangani pemberitaan media. Salah satunya adalah cara merespons buku "Clinton Cash" terbitan 2015 yang menguak keterkaitan Clinton Foundation terhadap sejumlah keputusan yang dibuat Clinton saat masih menjabat sebagai menteri luar negeri AS.
(ama)