Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah China mengumumkan melakukan penafsiran kelima konstitusi dasar Hong Kong pada awal pekan ini, yang mewajibkan seluruh anggota dewan bersumpah setia bahwa Hong Kong merupakan bagian dari China. Langkah ini dilakukan China menyusul aksi dua anggota dewan Hong Kong yang melontarkan komentar anti-China pada akhir Oktober lalu.
Dilaporkan
Strait Times, Parlemen China melalui Ketua Kongres Rakyat Nasional (NPC) Zhang Dejiang akan meluncurkan penafsiran baru soal Pasal 104, yang menyebutkan setiap anggota parlemen Hong Kong wajib bersumpah setia dan menjunjung tinggi persatuan Hong Kong sebagai bagian dari China.
Langkah ini dilakukan China menyusul kontroversi dalam pengangkatan dua aktivis Partai Youngspiration, Yau Wai Ching, 25 dan Sixtus Leung, 30 sebagai anggota dewan setelah memenangi dukungan pada pemilu parlemen September lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengangkatan Yau dan Leung pada 12 Oktober lalu ditangguhkan lantaran mereka menolak membacakan janji setia kepada China, seperti yang tertuang dalam sumpah jabatan mereka. Keduanya juga membawa bendera berwarna biru bertuliskan "Hong Kong bukanlah China."
Yeu bahkan membuat suasana menjadi semakin memanas ketika ia menyebut Hong Kong sebagai wilayah administratif khusus dari "People's Ref**king of Shina." Kata "Shina" atau Sino merupakan sebutan kuno untuk China dalam bahasa Jepang, yang memiliki arti negatif dan merendahkan.
Beijing lantas berupaya memproses keduanya secara hukum karena dinilai telah mendorong aksi pemisahan diri dari China dan mengkhianati konstitusi.
Beijing juga menentang keputusan Presiden Dewan Legislatif Hong Kong (Lengco) yang memperbolehkan Yau dan Leung dilantik kembali. Keputusan ini tengah dalam peninjauan kembali oleh Pengadilan Tinggi Hong Kong pada Kamis (3/11).
Menurut para pakar, inisiatif Beijing dalam melakukan penafsiran konstitusi dasar Hong Kong sebelum keluarnya keputusan Pengadilan Tinggi merupakan tindakan yang bertentangan dengan hak otonomi Hong Kong, serta melemahkan independensi peradilan.
Para pakar juga menilai aksi Yau dan Leung telah memberikan celah Beijing untuk dapat mengeluarkan mereka dari Dewan Legislatif Hong Kong.
Pemerintah China memang tengah mengontrol ketat politik Hong Kong semenjak pecahnya kerusuhan dan demonstrasi besar-besaran pemuda yang menuntut kemerdekaan Hong Kong di Mongkok pada Februari lalu.
Ilmuwan politik James Sung berkata, setelah Yau dan Leung berhasil melenggang ke parlemen Hong Kong pada September lalu, Beijing gencar berupaya menghentikan gerakan warga Hong Kong yang menuntut kemerdekaan dari China.
Menurut Sung, Beijing menginginkan warga Hong Kong, khususnya generasi muda, untuk memiliki interpretasi lebih luas mengenai kesetiaan, separatisme, penentuan nasib sendiri, dan juga batas-batas soal isu kemerdekaan.
"Saat ini, Pengadilan Hong Kong tidak memiliki instrumen legal atau hukum yang memperbolehkan menangani berbagai isu kemerdekaan," ucap Sung, Sabtu (5/11).
(ama)