Jakarta, CNN Indonesia -- Operasi perebutan kembali Kota Mosul oleh pasukan Irak yang dinilai kian melemahkan pasukan ISIS di kota tersebut memang memperbesar harapan warga Irak untuk bisa lepas dari pendudukan ISIS. Namun, serangan pasukan Irak di Mosul itu juga kian memperparah bencana kemanusian akibat pertempuran yang tak sedikit memakan korban warga sipil di tanah tersebut.
Organisasi Internasional untuk Migrasi memaparkan, sekitar 18 ribu warga sipil terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka sejak serangan Irak di Mosul pada pertengahan Oktober lalu itu.
Badan internasional itu sebelumnya telah memperingatkan bahwa serangan di Mosul ini dapat menyebabkan krisis kemanusiaan dan peningkatan jumlah migrasi pengungsi yang lebih besar lagi. Hal ini diperparah dengan lokasi pertarungan antara tentara Irak dan militan ISIS yang terletak tepat di tengah kota terbesar kedua di Irak tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CNN melaporkan, sekitar 15 juta warga sipil Irak masih tinggal di kota itu. Banyak warga Irak yang mempertaruhkan nyawa mereka dengan mengambil risiko melarikan diri keluar dari wilayah gencatan senjata di Mosul menuju perbatasan wilayah Kurdi di Irak.
Warga sipil Irak mau tidak mau memaksakan diri keluar dari wilayah Mosul dengan ancaman tembakan, dan bahkan jebakan, yang ditempatkan ISIS di sejumlah tempat. Beberapa di antara mereka menggunakan kendaraan pribadi atau truk pengangkut untuk melarikan diri keluar Mosul.
Bendera putih kerap terpasang di kendaraan mereka. Meskipun pada praktiknya, bendera putih itu tak memberikan menjamin apa pun dalam situasi dan kondisi perang brutal bagi para pengungsi.
Banyak pengungsi berasal dari berbagai kota seperti Bazwaya, Gogjali, wilayah tetangga di Intisar dan Samah, sebelah timur Mosul. Sebagian besar pengungsi itu menyatakan mereka terjebak dalam pendudukan ISIS ketika kelompok militan itu menguasai Mosul dan kota lainya di Provinsi Nineveh sejak 2014 lalu.
Salah satu kisah imigran yang memilukan adalah ketika seorang wanita berjubah hitam mendatangi sebuah kamp pengungsian di Khazir. Ia bersama bayi dalam gendongannya telah menempuh perjalanan selama enam jam berjalan kaki untuk bisa sampai dan mendapatkan bantuan kehidupan di kamp pengungsian tersebut.
Salah satu petugas logistik dari badan amal Amerika Serikat Samantarian's Purse, Ray Helm, mengatakan para imigran datang ke kamp penampungan dengan membawa bendera putih selama perjalanan mereka.
Menurut kesaksian mereka kepada Helm, ISIS membiarkan sebagian pengungsi yang membawa bendera putih berjalan keluar. Namun kemudian, ISIS menembaki para pengungsi ketika mereka sudah berada di dekat pasukan Irak.
Salah satu anak laki-laki yang datang ke kamp Samaritan's Purse, ucap Helm, kehilangan seluruh anggota keluarganya saat melakukan perjalanan itu. Anak laki-laki itu tidak menceritakan apa-apa terkait keluarganya. Namun, Helm cukup yakin anak laki-laki itu bisa selamat karena tubuhnya yang kecil sehingga dapat menghindar dari tembakan ISIS.
Menurut Samaritan's Purse, kamp penampungan di Khazir dapat menampung sekitar 11 ribu keluarga. Sejauh ini, semakin banyak imigran dan pengungsi yang menempati penampungan tersebut.
Sebagian warga Irak yang melarikan diri dari Mosul dan sekitarnya merupakan warga miskin. Para imigran menyatakan kehidupan mereka di bawah ISIS sangat sulit dengan minimnya pasokan makanan, pekerjaan, kesehatan, dan sekolah yang disediakan kelompok militan itu.
(ama)