Jakarta, CNN Indonesia --
"Sekarang, saya mengumumkan pencalonan saya sebagai Presiden. Pasti akan banyak kritik, tapi saya yakin, ketulusan saya tidak perlu dipertanyakan lagi."
Pernyataan itu mungkin terdengar biasa saja. Namun, ucapan itu pernah menggegerkan Amerika Serikat.
Pasalnya, kalimat itu terlontar dari mulut seorang perempuan pada tahun 1872, di kala wanita saja belum memiliki hak untuk menyumbangkan suaranya dalam pemilihan umum di AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adalah Victoria Woodhull, seorang aktivis yang bernaung di bawah Partai Kesetaraan Hak. Ia dengan berani mendobrak tradisi di AS. Namun sayangnya, perjuangan Woodhull kandas tatkala Calvin Collidge memenangkan pemilu saat itu.
Sepeninggal Woodhull, sekitar 200 perempuan lainnya adu keberanian untuk mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di AS. Namun, upaya mereka selalu gagal.
 Victoria Woodhull, perempuan pertama yang mencalonkan diri menjadi Presiden Amerika Serikat. (Reuters) |
Bahkan hingga kini, ketika AS sudah menyandang predikat sebagai negara dengan sistem demokrasi tertua, perempuan tak pernah duduk di kursi teratas pemerintahan.
Memang, perempuan sudah mulai duduk di kursi pemerintahan. Di Kongres AS, contohnya, 20 persen di antaranya merupakan perempuan. Namun, mereka tak pernah berada di posisi puncak.
Segudang kajian mengenai kepantasan perempuan duduk di kursi presiden AS pun sudah dilakukan. Sebagian besar kajian tersebut bermuara pada satu alasan sederhana tidak terpilihnya capres perempuan; harapan masyarakat yang terlalu tinggi terhadap kandidat wanita itu sendiri.
Sebut saja kajian yang dilakukan oleh organisasi gagasan salah satu politisi perempuan AS, Barbara Lee. Setelah dua dekade melakukan penelitian, mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa pemilih biasanya memiliki standar lebih tinggi terhadap capres perempuan ketimbang pria.
"Harapan tinggi itu adalah perempuan lebih jujur dan etis, tapi jika mereka gagal sedikit saja, semua akan hancur. Perempuan hanya diberi sedikit ruang untuk melakukan kesalahan," ujar Lee dalam kolomnya di Boston Globe.
Kerap kali, standar tinggi ini dipatok hanya pada sikap dan penampilan, bukan kapabilitas seorang capres perempuan dalam memimpin.
Menurut Lee, para pemilih bahkan tak akan berpikir panjang untuk memilih laki-laki yang jelas-jelas tidak berkompeten jika disandingkan dengan wanita dengan perilaku tak begitu sempurna.
Namun jika hanya dihadapkan dengan capres perempuan, hampir semua pemilih, termasuk 90 persen wanita, merasa mereka harus benar-benar menyukai terlebih dahulu sikap kandidat tersebut sebelum memutuskan untuk memilihnya.
Merujuk pada penelitian Lee Foundation, faktor "kesukaan" memang memegang peranan lebih penting pada capres perempuan ketimbang kandidat laki-laki.
Salah satu contoh yang ditarik Lee adalah ketika debat bakal capres Partai Republik berlangsung di CNN yang turut menghadirkan salah satu kandidat perempuan, Carly Fiorina.
Saat debat berlangsung, salah satu pembawa acara, Michael Smerconish, mengkritik habis-habisan Fiorina karena sama sekali tak menyunggingkan senyum.
Menurut beberapa pengamat, jawaban-jawaban Fiorina saat debat sebenarnya sangat bagus. Namun, mereka juga merasa risih karena Fiorina tak tersenyum.
 Carly Fiorina sempat dikritik karena tak tersenyum sepanjang debat bakal capres dari Partai Republik yang diadakan CNN. (Reuters/Brendan McDermid) |
Hal ini sempat menimbulkan kontroversi, hingga akhirnya seorang mantan pejabat dekat Presiden Barack Obama, Van Jones, turut angkat bicara. Menurutnya, kisruh senyuman Fiorina ini mengandung unsur standar ganda.
Jones lantas berargumen bahwa dalam beberapa debat, salah satu kandidat capres dari Partai Republik, Marco Rubio, juga tak tersenyum.
"Saya tidak melihat Marco Rubio tersenyum sekali pun dan tidak ada yang mengkritik Marco Rubio," katanya.
Banyaknya sorotan terhadap penampilan perempuan ini nantinya akan bermuara pada citra. Media memegang peranan penting dalam pembentukan citra capres perempuan.
Dalam bukunya yang bertajuk Women for President, Erika Falk menganalisis bias gender dalam pemberitaan media ketika memberitakan mengenai sejumlah capres perempuan, mulai dari Woodhull, Belva Lockwood, Margaret Chase Smith, hingga Carol Moseley Braun.
"Pers menggambarkan kandidat perempuan sebagai sosok yang tak bergairah, tidak natural, tak berkompeten, dan sering kali mengabaikan atau meremehkan perempuan ketimbang melaporkan gagasan dan tujuan mereka. Perbandingan kampanye pria dan wanita ini menunjukkan kekhawatiran akan tren seksisme dalam pemberitaan media. Tren yang masih ada hingga saat ini," tulis Falk.
Namun jika bicara mengenai Hillay Clinton, hampir semua pengamat mengakui ada yang berbeda. Kemampuan Clinton menjadi seorang pemimpin dibalut dengan penampilannya yang hampir sempurna, membuatnya dielu-elukan sebagai capres perempuan AS paling potensial.
 Kemampuan Clinton menjadi seorang pemimpin dibalut dengan penampilannya yang hampir sempurna, membuatnya dielu-elukan sebagai capres perempuan AS paling potensial. (Carlo Allegri) |
Sinar Clinton sudah mulai terpancar ketika ia bertarung melawan Obama dalam pemilu 2008. Kala itu, Clinton mampu menandingi Obama dengan angka terpaut tipis.
Sekarang pun, meskipun sudah dilanda skandal email, popularitas Clinton masih terpaut tipis di atas rivalnya dari Partai Republik.
Potensi Clinton untuk menang tentu lebih besar ketimbang pada pemilu 2008 lalu, ketika ia berhadapan dengan Obama yang akhirnya mencetak sejarah menjadi presiden keturunan Afrika pertama.
Dua periode berselang, kini Clinton pun berpotensi menorehkan sejarah dengan menjadi presiden AS pertama yang berjenis kelamin perempuan.
(has/has)