Mempertanyakan Nasib Asia di Era Trump

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Rabu, 16 Nov 2016 15:52 WIB
Selama masa kampanye, Trump kerap melontarkan komentar yang berpotensi mengubah geopolitik. Kini, Asia menanti model hubungan diplomatik Trump.
Selama masa kampanyenya, pernyataan-pernyataan Trump menimbulkan potensi menghancurkan sekutu, merombak peta geopolitik, dan berisiko memicu konflik besar. (Reuters/Rick Wilking)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bukan hanya Amerika Serikat, negara-negara di kawasan Asia pun kini sedang mempertanyakan nasib mereka ketika Donald Trump menduduki kursi utama di Gedung Putih.

"Kemenangan Trump menimbulkan ketidakpastian di seluruh penjuru Asia. Banyak orang cemas," ujar Jeff Kingston, direktur studi Asia dari Temple University di Jepang, seperti dikutip CNN, Rabu (16/11).

Mulai dari rival terberat AS di kawasan, China, hingga sekutu Washington, seperti Jepang, Korea Selatan, bahkan Filipina, sekarang sedang menanti model hubungan diplomatik yang akan diusung oleh Trump.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun selama masa kampanyenya, pernyataan-pernyataan Trump menimbulkan potensi menghancurkan sekutu, merombak peta geopolitik, dan berisiko memicu konflik besar.

Jepang

Komentar keras Trump tersebut juga sempat menyasar Jepang, salah satu sekutu terkuat AS di kawasan Asia. Trump pernah mengancam menarik 54.000 tentara AS yang ditempatkan di Jepang.

Menurutnya, biaya pengerahan pasukan di Jepang lebih baik digunakan untuk menggempur ISIS di Irak dan Suriah. Sementara itu, Jepang membutuhkan dukungan dari AS sebagai negara besar dalam menghadapi ancaman nuklir dari Korea Utara.

Trump bahkan sempat membuka kemungkinan untuk mengundang pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong-Un, untuk berkunjung ke AS. "Apa yang salah dengan gagasan itu?" katanya.

Setelah proses hitung cepat menunjukkan kemenangan Trump, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, langsung bergerak. Ia pun menjadi pemimpin Asia pertama yang akan bertatap muka dengan Trump pada pekan ini, sebelum bertolak ke lokasi penyelenggaraan APEC di Peru.
Mempertanyakan Nasib Asia di Era TrumpAbe diperkirakan bakal menekankan kembali kepada Trump bahwa Jepang merupakan sekutu terkuat AS di Asia.(Reuters/Toru Hanai)

"Saya pikir, Abe mengerti bahwa Trump adalah sosok rapuh yang mudah tersinggung dan dia ingin langsung mematok nada positif," ucap Kingston.

Dalam kesempatan tersebut, Abe juga diperkirakan bakal menekankan kembali kepada Trump bahwa Jepang merupakan sekutu terkuat AS di Asia.

"(Abe) juga akan mencari kepastian dukungan keamanan dan tentu saja menekankan bahwa perang perdagangan dengan China akan menjadi langkah yang kontraproduktif," tutur Kingston.

China

Dalam beberapa kampanyenya, Trump memang sempat menyinggung akan memantik perang perdagangan dengan China yang disebut "memperkosa AS."

Surat kabar pemerintah China, Global Times, pun mengakui ada kemungkinan Trump akan menjegal langkah Beijing untuk menjadi pemimpin dalam perdagangan.

Namun, wakil dekan Institut Hubungan Internasional dari Fudan University di Shanghai, Shen Dhingli, mengatakan bahwa Trump tidak akan selamanya seperti itu.

"Trump adalah orang yang pintar. Ia mengatakan itu untuk mendapatkan suara. Ketika ia sudah berkuasa, ia akan kembali menjadi orang pintar dan tidak akan melewatkan kesempatan untuk dipilih kembali," katanya.

Peta politik Trump untuk China pun masih dipertanyakan, mengingat ia pernah meremehkan Trans Pacific Partnership (TPP), satu perjanjian kerja sama perdagangan bebas yang disebut-sebut digagas oleh Obama untuk mengisolasi Beijing.
Mempertanyakan Nasib Asia di Era TrumpTrump kemungkinan akan lebih sibuk mengurus masalah domestik dan tak akan ingin meningkatkan ketegangan dengan China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping. (The Egyptian Presidency/Handout via Reuters)

Menurut Shen, pada masa awal kepemimpinannya, Trump sendiri akan lebih berfokus pada prioritas dalam negeri, sehingga AS kemungkinan tidak akan banyak bersinggungan dengan China, terutama dalam masalah-masalah seperti Laut China Selatan. 

Kini, AS sedang terbelah pasca pemilu presiden. Trump pun diperkirakan akan menjadi memimpin dengan gaya isolasi. Trump kemungkinan akan lebih sibuk mengurus masalah domestik dan tak akan ingin meningkatkan ketegangan dengan China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping.

"Tanpa persatuan di dalam, kekuatan besar tidak akan membuat masalah di luar," tulis Global Times seperti dikutip CNN.

Namun menurut beberapa pihak, perdagangan masih akan menjadi isu panas antara AS dan China. Jika Trump mengambil tindakan keras terhadap China, kemungkinan besar akan ada ketegangan besar yang dapat berujung konflik.

"Jika dia melakukan itu, akan sulit untuk bekerja sama dengan China. Trump sangat emosional dan dia akan mudah dimanipulasi dan itu dapat memicu konflik. Namun jika itu dikesampingkan, Trump akan memberikan (China) pengaruh global," tulis Global Times.

Korea Selatan

Sementara China dan Jepang sudah mengantongi kemungkinan hubungan yang aman, Korea Selatan masih sangat riskan. Pasalnya, kabar kemenangan Trump datang di saat Korsel sedang dirundung masalah besar.

Presiden Korsel, Park Geun-hye, sedang diguncang skandal pembocoran rahasia negara. Rakyat pun mendesak agar Park segera mundur.

"Mendekat dengan cepat memang langkah cerdas bagi Abe. Korea Selatan sekarang ini, tidak memiliki pemimpin. Tidak ada yang dapat bertemu dengan Trump," ucap John Delury, seorang profesor Studi Asia di Yonsei University, Seoul.
Mempertanyakan Nasib Asia di Era TrumpKorsel dalam posisi riskan karena tak ada pemimpin yang dapat menemui Trump sementara Presiden Park Geun-hye sedang dilanda skandal pembocoran rahasia negara. (Reuters/Kim Hong-Ji)

Sementara itu, banyak hal yang dipertaruhkan dalam hubungan antara Korsel dan AS, terutama berkaitan dengan program nuklir Korea Utara.

Kini, di Korsel terdapat 28.500 tentara AS yang bersiaga untuk menjaga keutuhan Korsel jika sewaktu-waktu ada konflik. AS juga sudah memiliki rencana matang untuk mengerahkan sistem pertahanan rudal mutakhir, THAAD.

Namun dalam beberapa kampanyenya, Trump juga sempat mengancam menarik kembali pasukan AS karena tak ada keuntungan yang didapat. Lebih baik, kata Trump, dana pengerahan pasukan di Korsel dialihkan untuk menggempur ISIS.

"Trump akan bernegosiasi kembali dengan sekutu yang ia anggap memiliki kekuatan besar. Park kehilangan kekuatannya, kondisi yang buruk untuk memulai negosiasi," kata Delury.

Filipina

Posisi buruk juga kini sedang dialami oleh Filipina karena Presiden Rodrigo Duterte beberapa kali melontarkan komentar menyerang Presiden Barack Obama.

Obama dan beberapa pejabat AS kerap mengkritik kampanye pemberantasan narkoba di Filipina yang dianggap dilakukan di luar hukum dan melanggar HAM. Namun, Duterte menganggap Obama tidak paham apa yang terjadi di Filipina dan lebih baik tutup mulut.

Hubungan kedua negara yang sebenarnya merupakan sekutu lama ini kian panas hingga beberapa kali Duterte mengancam memutus hubungan militer.

Namun saat Trump dikabarkan memenangkan pemilihan umum presiden, Duterte langsung mengubah nada bicaranya. Ia berjanji akan mengakhiri perselisihan dengan AS.

Duterte memang kerap disandingkan dengan Trump selama masa kampanye. Mereka berdua kerap melontarkan komentar populis, tapi kontroversial.
Mempertanyakan Nasib Asia di Era TrumpSaat Trump dikabarkan memenangkan pemilihan umum presiden, Duterte langsung mengubah nada bicaranya. Ia berjanji akan mengakhiri perselisihan dengan AS. (Reuters/Erik De Castro)

Seorang profesor ilmu politik dari De La Salle University di Malaysia, Richard Javad Heydarian, pun mengatakan bahwa hubungan Filipina dan AS kemungkinan akan kembali baik di bawah kepemimpinan Trump dan Duterte.

Trump bahkan sudah menunjuk rekan bisnisnya yang berbasis di Filipina untuk menjadi utusan khusus perdagangan AS.

"Duterte sebagai presiden akan lebih nyaman dengan Trump. Trump juga dapat lebih santai dalam masalah hak asasi manusia dan demokrasi," ucap Heydrian.

Namun, Heydarian khawatir pemerintahan Trump nantinya akan disibukkan dengan masalah dalam negeri pasca pilpres sehingga prioritas kebijakannya kemungkinan tidak banyak menguntungkan negara kecil di Asia Tenggara, seperti Filipina.

"Kemampuan proyeksi AS atas kekuatannya akan berkurang dan (jika ada), momentumnya akan jatuh ke China," katanya. (has/has)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER