Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Investigasi Federal (FBI) melaporkan bahwa insiden ujaran kebencian kepada Muslim di Amerika Serikat pada 2015 melonjak drastis sekitar 67 persen dari 2014 hingga mencapai 257 kasus, tertinggi sejak 2001.
Seperti diberitakan
Washington Post, sentimen dan sikap anti-Islam semakin sering ditemukan di berbagai penjuru AS pasca serangan teroris yang meluluhlantakkan gedung World Trade Center pada 11 September 2001.
Serangan mematikan yang menewaskan ribuan warga AS itu diklaim oleh sekelompok militan Al Qaidah yang mengatasnamakan Islam. Semenjak itu, pandangan dunia barat khususnya AS terhadap Islam dan kaum Muslim menjadi bergeser. Di tahun itu, sentimen anti-Islam di AS mencapai puncaknya dengan 546 kasus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut banyak pengamat, lonjakan sentimen
Islamophobia di AS ini kembali merangkak naik pada 2015 akibat semakin maraknya serangan teroris dan retorika anti-Islam saat masa kampanye pemilu.
Juru bicara Dewan Hubungan Islam dan Warga Amerika, Ibrahim Wooper, meyakini bahwa retorika dan sikap anti-Muslim yang kerap dilontarkan pada masa kampanye pemilu oleh salah satu kandidat capres saat itu menjadi salah satu pemicu meningkatnya sentimen Islamophobia di negara itu.
Dalam masa kampanye, mantan capres yang kini berhasil memenangkan pemilu dan telah menjadi Presiden AS terpilih ke-45, Donald Trump, kerap melontarkan pandangan skeptis dan retorikanya yang berbau anti-Islam.
Sejak mencalonkan diri sebagai presiden, taipan
real-estate ini memang tak jarang menyudutkan kaum minoritas, khususnya warga Muslim, sebagai masalah di negaranya.
Dalam masa kampanye, Trump sempat menyatakan akan melarang Muslim untuk masuk ke AS dan mengatakan, "Islam membenci kami."
 Foto: Reuters/Nancy Wiechec Protes anti-Islam di wilayah Phoenix beberapa waktu lalu |
Dalam debat capres terakhir, Trump bahkan mengatakan bahwa pemerintah AS seharusnya menyebut terorisme dengan "teroris Islam radikal", istilah yang tak pernah digunakan oleh pemerintah Barack Obama.
Menurut Hooper, ujaran kebencian terhadap kaum Muslim dan sikap anti-Islam di AS akan lebih banyak ditemui lagi di AS menyusul terpilihnya Trump menjadi presiden AS dalam pemilu 8 November lalu. Perkataan Trump yang kontroversial selama masa kampanye dikhawatirkan akan menjadi pembenaran bagi para pendukungnya untuk melakukan tindakan kebencian.
"Setiap kali ada salah satu tokoh bangsa publik seperti Donald Trump melontarkan sentimen Islamophobia di negara ini, maka sentimen anti-Islam tidak dapat terelakkan (akan ditemui) di AS," kata Hooper seperti dikutip
The Washington Post, Senin (14/11).
Juru bicara tim kampanye Trump sampai saat ini belum menanggapi insiden ini.
Selain sentimen Islamophobia, berbagai kasus diskriminasi dan sentimen xenophobia juga ikut muncul di berbagai penjuru AS sebelum dan sesudah Trump diresmikan menjadi pemenang pemilu.
The Southern Poverty Law Center melaporkan, sekitar 201 insiden pelecehan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas di AS terkait pemilu terjadi.
Pada pekan lalu, seorang mahasiwi San Diego State University diserang oleh dua pria yang melontarkan komentar soal Trump dan Muslim. Kedua pria tersebut merampas tas serta kunci mobil mahasiswi tersebut.
Coretan grafiti berbau rasisme juga terlihat di salah satu dinding kamar mandi di gedung sekolah Minnesota High School. Tulisan lainnya yang terpampang di pintu kamar mandi bahkan bertuliskan "hanya untuk kulit putih", "Amerika kulit putih", dan "Trump".
Insiden ujaran kebencian secara menyeluruh meningkat di AS sebanyak 6,7 persen dari tahun 2014-2015. Insiden seperti rasisme terhadap kaum kulit hitam naik sekitar 7,6 persen menjadi 1.745 kasus pada tahun 2015, sementara sentimen berdasarkan orientasi seksual di AS meningkat sekitar 3,5 persen menjadi 1.053 kasus pada tahun 2015.
"Tidak perlu dipertanyakan lagi, menurut saya, semua retorika Donald Trump saat kampanye turut memberikan kontribusi adanya peningkatan ujaran kebencian pada kaum minoritas di AS," tutur peneliti senior The Southern Poverty Law Center.
Namun, menurut pengamat, laporan FBI ini sangat terbatas menyusul banyaknya pihak yang tidak serta merta melaporkan insiden ujaran kebencian yang ia ketahui atau alami kepada penegak hukum. Laporan FBI ini hanya mencatat insiden ujaran kebencian yang telah dilaporkan warga kepada badan penegak hukum saja.
(has)