Jakarta, CNN Indonesia -- Para pakar menilai pemerintahan presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, yang akan dimulai pada Januari mendatang perlu membentuk sebuah lembaga negara berisi pejabat senior untuk memerangi ideologi ekstremisme. Trump juga perlu menciptakan anggaran hingga US$1 miliar, atau sekitar Rp13 triliun, untuk menangkal radikalisasi.
Gagasan itu dikemukakan oleh para pakar dari Center for Strategic and International Studies, lembaga think tank yang dipimpin oleh mantan kepala CIA, Leon Panetta, dan mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair, pada Selasa (15/11).
Menurut para pakar, meski AS telah menggelontorkan miliaran dolar untuk perang bersenjata melawan Al-Qaeda dan berbagai kelompok militan lainnya, namun AS tidak melakukan kordinasi kuat terhadap "perang panjang" untuk mencegah ideologi radikal mempengaruhi pemuda Muslim di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka menyatakan Gedung Putih perlu membentuk asisten presiden baru dengan anggaran sebesar US$1 miliar untuk dialokasikan kepada berbagai upaya menghentikan radikalisasi di seluruh penjuru AS.
Anggaran belanja untuk program deradikalisasi, menurut laporan dari think tank tersebut, hanya sebesar 0,1 persen dari anggaran kontraterorisme negara.
"Sudah saatnya pemerintah AS dan sekutunya untuk berupaya kuat mencegah radikalisasi dan perekrutan [militan] generasi baru," bunyi laporan lembaga itu, dikutip dari
AFP, Rabu (16/11).
"Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa kita seharusnya menghabiskan lebih banyak dana untuk perang ideologi. Satu miliar dolar akan [membuat dampak yang] signifikan" ujar Panetta.
Laporan ini menyoroti soal cara ekstremisme bertumbuh di berbagai sekolah, masjid dan internet. Melalui laporan ini, para pakar lembaga itu menyatakan ancaman ekstremisme belum surut, bahkan militan ISIS tengah digempur di Irak dan Suriah.
"Pada akhir 2016, ancaman semakin besar," kata Farah Pandith, anggota CSIS Komisi Perlawanan terhadap Ekstremisme.
Ia menekankan pemerintah AS harus berfokus pada pemuda Muslim yang terhubung melalui media sosial, yang rentan disusupi paham radikal, baik dari organisasi masyarakat maupun dari berbagai akun media sosial.
Selain itu, baik pihak perusahaan teknologi, hiburan hingga para pemimpin agama dan masyarakat harus secara sistematis turut serta "menampik narasi ekstremis di dunia maya dan nyata," bunyi laporan itu.
"Adalah tanggung jawab semua warga negara untuk membantah ide-ide ekstremis, di mana pun," bunyi laporan itu.
Meski demikian, laporan itu juga menekankan perlunya tidak terlibat dalam penindasan agama dan melindungi komunitas Muslim dari serangan non-Muslim.
Laporan lembaga itu dipublikasikan sebelum Trump memenangkan pemilihan presiden pekan lalu, dan tidak dibuat untuk menyinggungnya.
Namun, laporan ini dipublikasikan seiring dengan laporan meningkatnya berbagai kasus bermotif Islamofobia dan xenofobia di AS, sejak Trump terpilih sebagai presiden. Trump dalam kampanyenya memang kerap melontarkan retorika yang menyakiti hati umat Muslim, seperti seruan pelarangan warga Muslim memasuki AS, dengan dalih mencegah penyusupan teroris.
Salah satu kasus yang menyiratkan sentimen Islamofobia muncul di New York University (NYU) Tandon School of Engineering pada Kamis (10/11) lalu. Menurut otoritas kampus, sejumlah siswa menemukan nama presiden AS terpilih itu tertulis di depan pintu ruang ibadah bagi umat Islam di gedung kampus mereka.
Sebuah grafiti berbau rasisme juga mencoreti salah satu dinding kamar mandi di gedung sekolah Minnesota High School. Tulisan lainnya yang terpampang di pintu kamar mandi bahkan bertuliskan "hanya untuk kulit putih", "Amerika kulit putih", dan "Trump".
(ama)