AS Bantah Tentaranya Terlibat Kejahatan Perang di Afghanistan

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Rabu, 16 Nov 2016 13:30 WIB
AS menampik tudingan Mahkamah Pidana Internasional yang menyebutkan tentara dan intelejen AS terlibat dalam kejahatan perang di Afghanistan pada 2003-2004.
Sejak tahun 2001, pasca pengeboman gedung World Trade Center (WTC) yang juga dikenal dengan tragedi 9/11, pemerintahan AS di bawah kepemimpinan George W. Bush mengerahkan tentara AS ke Afghanistan sebagai bagian dari operasi melawan terorisme. (Reuters/Mohammad Ismail)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Amerika Serikat menampik tudingan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang menyebutkan tentara AS terlibat dalam kejahatan perang di Afghanistan pada 2003-2004. Menurut otoritas AS, tudingan ICC tersebut "tidak berdasar."

Juru Bicara kementerian Luar Negeri AS Elizabeth Trudeau menegaskan, AS memiliki standar nasional yang akuntabel dan sama baik dengan negara lainnya. Trudeau menganggap keputusan ICC untuk melakukan penyelidikan terkait operasi tentara AS di Afganistan tersebut tidaklah tepat.

"Kami tidak percaya penyelidikan ICC ini dapat dibenarkan. Seperti yang pernah kami tegaskan sebelumnya, AS bukan bagian dari Statuta Roma dan belum menyetujui yurisdiksi ICC," kata Trudeau seperti dilansir dari AFP, Rabu (16/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak tahun 2001, pasca pengeboman gedung World Trade Center (WTC) yang juga dikenal dengan tragedi 9/11, pemerintahan AS di bawah kepemimpinan George W. Bush mengerahkan tentara AS ke Afghanistan sebagai bagian dari operasi melawan terorisme.

Tentara AS dikerahkan khususnya untuk menangkap pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, yang selama ini dianggap sebagai dalang utama serangan teror 9/11.

Berdasarkan penyelidikan awal, ICC mengindikasikan beberapa anggota militer dan intelijen AS terlibat dalam kasus penyiksaan tahanan selama operasi militer di Afghanistan. Setidaknya 88 tahanan di Afghanistan dalam kurun tersebut disika oleh personel militer dan intelejen AS.

Pada Senin (14/11), Kepala Jaksa ICC Fatou Bensouda menyatakan sedang mempertimbangkan apakah lembaga peradilannya akan melakukan penyelidikan menyeluruh terkait dugaan kejahatan perang yang dilakukan tentara AS.

ICC didirikan pada 2002 dengan tujuan menangani kasus kejahatan luar biasa seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Meskipun selama ini AS vokal menyerukan pelaksanaan proses hukum bagi pihak yang terlibat kejahatan perang, seperti di Suriah, namun kecil kemungkinan tentara AS akan berakhir di pengadilan kejahatan perang.

Pasalnya, AS bukanlah negara yang meratifikasi statuta Roma yang merupakan dasar hukum terbentuknya ICC.

Oleh karena itu, ICC kerap dituduh bias karena hanya menerapkan hukum terhadap negara-negara Afrika, namun tutup mata terhadap dugaan kejahatan perang yang dilakukan Barat, khususnya AS. 

Akhir Oktober lalu, Gambia memutuskan keluar dari keanggotaan ICC setelah merasa kulit hitam didiskriminasi dalam proses hukum kejahatan perang. Sebelumnya, beberapa negara Afrika lainnya sudah keluar dari ICC dengan alasan yang sama.

Ditengah banyaknya pihak yang mengkritik kapabilitas dan kinerja ICC dalam memberangi kejahatan internasional, juru bicara Kemlu AS lainnya, John Kirby malah berfikir bahwa ICC, "telah memberikan kontribusi dan pelayan yang akuntabel."

Namun, AS sendiri sebagai negara adidaya nyatanya tidak menerima keputusan lembaga yang dinilainya kompeten dan akuntabel itu.

AS sempat menjadi negara yang menandatangani perjanjian ICC, namun, pada pemerintahan Bush, AS menarik diri dan tanda tangannya itu dari perjanjian ICC dengan alasan Amerika akan diperlakukan tidak adil oleh ICC karena alasan politik.

Saat kepemimpinan Bush, AS menerapkan penggunaan teknik interogasi tingkat tinggi, termasuk waterboarding yang sarat penyiksaan, setelah tragedi 9/11. Praktik teknik interogasi sarat penyiksaan itu dihapus di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama sejak dia menjabat pada Januari 2009.

(ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER