Jakarta, CNN Indonesia -- Malaysia dan Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) tengah menyusun skema yang dapat mengizinkan pengungsi etnis Rohingya di negara tersebut bekerja secara legal.
Seorang pejabat pemerintahan mengatakan bahwa di bawah skema ini, 300 orang Rohingya dapat bekerja secara legal di sektor perkebunan dan manufaktur.
Juru bicara UNHCR di Kuala Lumpur, Yante Ismail, menjelaskan bahwa skema ini dapat menjadi dasar untuk mengembangkan program pengungsi berkelanjutan di Malaysia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Yante, para pengungsi ini dapat menjadi sumber tenaga kerja yang berharga bagi perekonomian Malaysia. Dengan mengizinkan pengungsi ini bekerja, pemerintah justru dapat mengatur mereka dengan lebih baik.
"Skema ini dapat membuat pengungsi di Malaysia meningkatkan perlindungan dan kemandiriannya sehingga dapat mengurangi ketergantungan mereka kepada Malaysia," ucap Yante seperti dikutip
Reuters, Kamis (24/11).
Selama ini, pemerintah Malaysia sudah beberapa kali mengungkapkan keinginan mereka untuk mengizinkan pengungsi bekerja secara legal di negaranya. Namun, wacana tersebut tak pernah diwujudkan karena ketakutan akan meningkatnya pekerja imigran.
UNHCR pun sebenarnya sudah berulang kali meminta Malaysia untuk memikirkan perancangan skema semacam ini karena dapat membantu pemerintah mengatur para pengungsi.
Layaknya Indonesia, Malaysia juga bukan merupakan pihak yang meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB. Namun kini, Malaysia menampung 150 ribu pengungsi dan pencari suaka, sekitar 55 ribu di antaranya adalah Rohingya.
Kaum Rohingya tersebut hidup dalam ketidakpastian karena tidak diizinkan untuk bekerja secara legal, sementara proses penempatan ke negara ketiga memakan waktu yang sangat lama.
Mereka akhirnya diam-diam menjadi petugas kebersihan, atau bekerja di restoran, bahkan di situs konstruksi. Karena bekerja secara ilegal, banyak dari mereka mengaku disiksa atau tak diupah.
Meskipun menderita, mereka tetap ingin bekerja ketimbang harus kembali ke Myanmar, di mana mereka didiskriminasi dan ditindas.
Selama hampir dua bulan belakangan, etnis Muslim Rohingya di Myanmar kembali menjadi sorotan. Kekerasan militer Myanmar terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine dilaporkan memanas.
Bentrokan antara militer Myanmar dan Rohingya ini memanas sejak 9 Oktober lalu, ketika tentara melakukan gempuran di utara Rakhine. Dalam insiden itu, sembilan polisi tewas, satu hilang, dan lima lainnya terluka.
Media lokal Myanmar memberitakan bahwa hingga kini pasukan keamanan sudah menghabisi hampir 70 nyawa dan menahan 400 orang lainnya setelah meningkatnya bentrokan pada awal bulan ini. Namun, kelompok aktivis mengatakan, jumlah itu bisa jauh lebih tinggi.
Konflik ini merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu. Bentrokan saat itu menewaskan 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Selama ini, sebagian besar dari 1,1 juta total populasi Muslim Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan dan hidup dalam diskriminasi. Mereka ditolak karena dianggap pendatang dari Bangladesh. Rohingya sendiri merasa sudah menjadi bagian dari Myanmar karena mereka telah melahirkan beberapa generasi di sana.
(has)