Israel Tunda Voting RUU Pelarangan Azan dan Permukiman Yahudi

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Kamis, 01 Des 2016 15:16 WIB
Jika dua RUU ini disahkan, maka azan menggunakan pengeras suara akan dilarang dari pukul 23.00-07.00, dan ribuan unit rumah Yahudi dibangun di Tepi Barat.
Israel menunda pemungutan suara di parlemen soal RUU yang akan membatasi jumlah azan untuk panggilan salat di masjid dan melegalkan permukiman Yahudi. (Reuters/Ammar Awad)
Jakarta, CNN Indonesia -- Israel menunda pemungutan suara parlemen soal rancangan undang-undang yang akan membatasi jumlah azan untuk panggilan salat di masjid-masjid dan melegalkan ribuan permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Juru bicara parlemen menyatakan kepada AFP, Rabu (30/1), bahwa pemungutan suara itu ditunda hingga minggu depan, menyusul keputusan dari sejumlah menteri.

RUU itu memuat sejumlah kebijakan yang mencegah panggilan azan melalui penggunaan pengeras suara untuk larut malam dan dini hari. RUU ini jelas membuat umat Islam geram.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melalui kebijakan ini, maka azan menggunakan pengeras suara akan dilarang dari pukul 23.00 malam hingga 07.00 pagi. Kebijakan ini memang melarang semua panggilan beribadah untuk semua agama, namun dinilai menargetkan masjid dan umat Islam.

Kelompok pengawas pemerintah mengatakan RUU itu akan memicu provokasi yang tidak perlu dan mengancam kebebasan beragama. Presiden Israel, Reuven Rivlin, adalah salah satu tokoh yang menentang rancangan kebijakan itu.

Selain RUU pelarangan azan, para anggota dewan juga menunda agenda medengarkan pembacaan RUU soal pelegalan sekitar 4.000 rumah Yahudi di Tepi Barat yang diduduki Israel.

RUU pelarangan azan akan ditunda hingga 7 Desember, sedangkan RUU soal permukiman Yahudi akan dibahas pada Senin (5/12).

Media Israel melaporkan bahwa pemungutan suara ini ditunda karena mayoritas anggota parlemen tidak yakin akan kedua RUU itu, dan menilainya masih perlu didiskusikan lebih lanjut.

RUU permukiman Yahudi menjadi tantangan sendiri bagi koalisi pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang sebagain besar anggotanya beraliran sayap kanan.

Netanyahu sendiri tidak ingin RUU itu lolos dan memperingatkan bahwa kebijakan itu dapat melanggar hukum internasional dan berisiko dibawa hingga ke Mahkamah Pidana Internasional.

Masyarakat internasional menganggap seluruh permukiman Israel di Yerusalem timur dan Tepi Barat tidak sah, terlepas dari apakah permukiman itu memiliki izin yang sah dari pemerintah Israel atau tidak.

Namun, pemerintah Israel membedakan antara permukiman yang memiliki izin dan tidak.

RUU permukiman Yahudi ini digenjot oleh anggota ekstrem sayap kanan dari koalisi Netanyahu, yang dipimpin oleh Menteri Pendidikan Naftali Bennett. Sementara, Jaksa Agung Israel menilai undang-undang itu tidak akan kuat di pengadilan.

Meski demikian, para pendukung RUU itu berdalih bahwa kebijakan itu sangat penting untuk melindungi permukiman Yahudi di Tepi Barat, yang disebut Amona.

Sebanyak 40 keluarga tinggal di permukiman itu, sebagian besar di antaranya akan digusur paling lambat 25 Desember mendatang, menurut keputusan pengadilan tinggi, karena dibangun di atas tanah warga Palestina.

Meski demikian, jika disahkan, RUU itu tidak hanya menyelamatkan 40 keluarga di Amona, namun juga memungkinkan pembangunan sekitar 4.000 unit rumah Yahudi lain di Tepi Barat, menurut laporan lembaga pengawas, Peace Now.

Peace Now menyebut RUU itu sebagai upaya "perampokan tanah besar-besaran, yang menyebabkan tidak hanya pencaplokan 800 hektar tanah warga sipil Palestina, namun juga membuat solusi dua negara bagi Israel dan Palestina sulit tercapai. (aal)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER