RI Didesak Bentuk Kebijakan Penanganan Pengungsi

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Selasa, 06 Des 2016 06:24 WIB
Mantan petugas perlindungan UNHCR menilai masalah pengungsi adalah urusan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab internasional, termasuk Indonesia.
Pada pertengahan Mei lalu, ribuan etnis Rohingya terdampar di Aceh, dalam upaya melarikan diri dari Rakhine dan mencari penghidupan yang lebih baik. (Reuters/Roni Bintang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan petugas perlindungan organisasi pengungsi PBB (UNHCR), Enny Soeprapto, mendesak pemerintah Indonesia untuk segera membentuk kebijakan konstitusional mengenai penanganan pengungsi menyusul semakin banyaknya jumlah imigran yang datang ke dalam negeri akibat konflik yang mendera negara tetangga.

Enny menilai sejauh ini Indonesia belum memiliki kebijakan nasional yang menjadi payung hukum serta mekanisme penanganan pengungsi. Pemerintah dinilai enggan untuk lebih terlibat dalam menangani permasalahan pengungsi yang saat ini tengah menjadi sorotan global.

"Belum ada regulasi nasional. Penanganan pengungsi saat ini oleh pemerintah Indonesia masih sektoral," ungkap Enny usai menghadiri peluncuran penelitian lembaga swadaya masyarakat pemerhati hak-hak pengungsi, SUAKA, terhadap nasib pengungsi Rohingya di Indonesia pada Senin (5/12) di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut mantan anggota Komnas HAM ini, pemerintah kota atau daerah dinilai lebih berperan sejauh ini dalam menangani para pengungsi. Padahal, permasalahan pengungsi memerlukan penyelesaian lintas dan batas sektoral di pemerintahan.

Enny berujar, instruksi pembentukan kebijakan nasional mengenai penanganan pengungsi sebenarnya telah tertuang pada Undang-Undang Hubungan Luar Negeri No 37 Tahun 1999. Dalam UU itu disebutkan bahwa penanganan pengungsi sepenuhnya berada di pemerintah pusat.

Jika kebijakan nasional ini dapat terbentuk, tutur Enny, pemerintah akan memiliki landasan dan prosedur bersama dalam menangani gelombang pengungsi yang masuk ke Indonesia secara komperhensif, mulai dari penentuan status para imigran hingga pemenuhan hak-hak dasar mereka.

Enny menegaskan bahwa masalah pengungsi merupakan urusan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab komunitas internasional secara keseluruhan, termasuk Indonesia. Sebagai negara anggota PBB, Indonesia setidaknya wajib berpartisipasi membantu penyelesaian masalah pengungsi, salah satunya dengan membentuk kebijakan nasional.

"Urusan pengungsi bukan hanya urusan negara asal, negara persinggahan, atau negara ketiga saja. Ini masalah bersama termasuk masalah Indonesia. Pemerintah dan masyarakat perlu melihat ini dari sisi kemanusiaannya," kata Enny.

Pada pertengahan Mei lalu, ribuan etnis Rohingya terdampar di Aceh, dalam upaya melarikan diri dari negara bagian Rakhine dan mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka diselamatkan oleh para nelayan dari tengah laut, kemudian ditampung pemerintah Indonesia di beberapa kamp pengungsi.

Langkah ini dinilai terpuji, pasalnya Indonesia bukan salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Pengungsi PBB Tahun 1951.

Konvensi Pengungsi PBB merupakan instrumen hukum yang diakui secara internasional untuk melindungi para pengungsi. Meskipun bukan pihak yang meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia kini menampung 13.700 imigran dari berbagai negara, 1.974 di antaranya merupakan Rohingya.

Perwakilan UNHCR di Indonesia, Thomas Vargas, pada November 2015 mengimbau agar Indonesia, sebagai negara yang turut membantu pengungsi, untuk ikut menandatangi konvensi tersebut.

Wakil Ketua Komisi I DPR, Tantowi Yahya sebelumnya juga memperingatkan bahwa perlu ada peninjauan ulang terhadap isi dari Konvensi Pengungsi PBB, jika Indonesia ingin ikut berpartisipasi. Pasalnya, ada sejumlah pasal dalam konvensi itu yang dinilai multitafsir.

Meskipun belum meratifikasi konvensi itu, pemerintah Indonesia berinisiatif menggagas beberapa pertemuan untuk menanggulangi gelombang pengungsi di kawasan, seperti Jakarta Meeting dan Bali Process.

Pada Bali Process sebelumnya, Indonesia dan negara peserta lainnya mengusulkan satu mekanisme penanganan pengungsi yang sangat diapresiasi oleh sejumlah organisasi internasional yang hadir. Mekanisme itu pun akan dibahas di PBB.

Selain mekanisme penanganan, Indonesia dan sejumlah negara lain di kawasan juga membahas cara pencegahan terjadinya lonjakan pengungsi.

Dalam Jakarta Meeting tahun lalu, para peserta membahas cara mengatasi akar masalah di negara asal guna mengurangi laju pengungsi yang biasanya kabur dari kampung halamannya untuk menghindari konflik, layaknya kaum Rohingya.

Kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya di Myanmar kembali mencuat setelah insiden penyerangan pos pengamanan di tiga wilayah perbatasan Myanmar oleh sejumlah kelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu. Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik serangan itu, meski tak ada bukti konkret.

Sejak penyerangan itu, militer Myanmar meningkatkan pengawasan ketat dengan melakukan "operasi pembersihan" di wilayah Rakhine. Alih-alih memburu para pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga malah menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta.

Reuters melaporkan setidaknya 86 warga tewas dan 30 ribu lainnya melarikan diri akibat serangkaian aksi kekerasan militer terhadap Rohingya di Rakhine sejak Oktober lalu. Lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya di lima desa di Rakhine hangus terbakar karena serangan militer.
(has/ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER