Perkara Status Hambat Pemenuhan Hak Pengungsi Rohingya di RI

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Senin, 05 Des 2016 20:43 WIB
Pemenuhan hak dasar pengungsi Rohingya di Indonesia dinilai belum maksimal lantaran status para pengungsi belum jelas dalam konstitusi Indonesia.
Pemenuhan hak dasar pengungsi Rohingya di Indonesia dinilai belum maksimal lantaran status para pengungsi belum jelas dalam konstitusi Indonesia. (Reuters/Roni Bintang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator sekretariat lembaga pemerhati hak pengungsi SUAKA, Rizka Argadianti Rachmah menyebutkan, pemenuhan hak dasar pengungsi Rohingya di Indonesia belum maksimal, lantaran status para pengungsi belum jelas dalam konstitusi Indonesia.

“Pemerintah pusat atau daerah memang sudah mengupayakan memenuhi hak dasar bagi para pengungsi Rohingya yang tinggal sementara di Indonesia namun semua itu belum maksimal,” ungkap Rizka dalam peluncuran penelitian SUAKA terkait nasib pengungsi Rohingya di Indonesia pada Senin (5/12) di Jakarta.

“Masih banyak [hak pengungsi Rohingya] yang terabaikan utamanya karena status mereka yang tidak jelas di Indonesia,” kata Rizka menambahkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama ini, status para pengungsi di Indonesia ditetapkan melalui lembaga pemerhati hak pengungsi PBB, yakni UNHCR. Indonesia sendiri, tutur Rizka, belum belum memilik payung hukum yang jelas mengenai penanganan dan penetapan status para pengungsi tersebut.

Hal ini, tutur Rizka, mempersulit para pengungsi Rohingya untuk benar-benar mendapatkan pemenuhan hak dasar sebagai pengungsi, seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak untuk berkeluarga, dan hak mendapatkan status perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia.

Dari sejumlah etnis Rohingya yang berhasil diwawancarai oleh tim SUAKA, sebagian besar menyatakan memiliki kesulitan untuk bisa secara langsung mendapatkan layanan kesehatan atau pendidikan karena status pendudukan mereka yang tidak jelas dalam pencatatan sipil daerah setempat.

Rizka menyatakan, pencatatan sipil dinilai masih diskriminatif terkait status perkawinan dan pencatatan kelahiran pengungsi Rohingya, menyebabkan sistem pendidikan Indonesia tidak bisa mengakomodir pendidikan bagi anak-anak pengungsi Rohingya.

Hingga kini, tidak ada pendidikan publik formal yang diakui dan tersedia bagi anak-anak pengungsi.

Sejumlah sekolah swasta memang telah menyediakan fasilitas pendidikan bagi para pengungsi Rohingya namun, menurut Rizka, jumlahnya tidak cukup menampung ratusan anak Rohingya yang berada di Indonesia.

Memberi contoh, Rika menyebut Makassar, sebagai salah satu kota penempatan para pengungsi Rohingya selain Aceh, hanya bisa menempatkan empat anak Rohingya yang dapat bersekolah swasta secara formal tanpa biaya. Sementara pengungsi anak lainnya mengenyam pendidikan dengan menjadi siswa titipan di sejumlah sekolah di dekat daerah penampungan mereka.

“Menjadi siswa ‘titipan’ pada akhirnya merupakan praktik lumrah untuk pengungsi anak. Dalam hal ini, anak-anak Rohingya tersebut dapat mengikuti pendidikan formal di sekolah namun tidak bisa memperoleh ijazah,” kata Rizka.

Perlunya kebijakan nasional

Sementara itu, mantan petugas perlindungan UNHCR, Enny Soeprapto, mendesak pemerintah Indonesia untuk membenahi mekanisme penanganan para pengungsi, tidak hanya bagi etnis Rohingya namun bagi para pengungsi lainnya yang datang ke Indonesia. Enny mendesak pemerintah membentuk kebijakan nasional penanganan pengungsi.

Perkara Status Hambat Pemenuhan Hak Pengungsi Rohingya di RIBerdasarkan pencatatan SUAKA, setidaknya ada sekitar 959 pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia tahun 2016 ini. Jumlah ini merupakan penurunan dari total pengungsi Rohingya pada Mei 2015 yang mencapai 1.791 orang. (ANTARA FOTO/Rony Muharrman)
Ia menyebut bahwa penanganan pengungsi di Indonesia masih bersifat sektoral, yakni hanya berdasarkan koordinasi lintas lembaga pemerintahan tanpa dipayungi oleh kebijakan dan kerangka hukum. Tak hanya itu, menurutnya, sebagian besar penanganan para pengungsi khususnya etnis Rohingya di Indonesia masih dibebankan pada pemerintah daerah.

Ketiadaan hukum, kata Enny, menyebabkan berbagai institusi pemerintahan mencoba melakukan terobosan berdasarkan keterbatasan wewenang yang dimiliki masing-masing lembaga dalam menangani para pengungsi. Meskipun tim penanganan yang dibentuk di tiap daerah melibatkan institusi pemerintahan yang hampir sama, namun peran dan penanganan yang dilakukan berbeda-beda.

“Sejauh ini belum ada kebijakan nasional yang menaungi mekanisme penanganan pengungsi di Indonesia. Sejauh ini [penanganan pengungsi] hanya bersifat koordinasi saja dari aspek hukum, sosial, dan lainnya ditangani masing-masing institusi terkait,” kata Enny.

Oleh karena itu, Enny mendesak upaya pembentukan kebijakan nasional untuk menangani pengungsi yang tertuang dalam bentuk keputusan presiden. Kebijakan nasional ini diharapkan dapat melibatkan seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan terkait dalam hal hukum, keimigrasian, hubungan luar negeri, sosial, pendidikan, dan kesehatan.

Berdasarkan pencatatan SUAKA, setidaknya ada sekitar 959 pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia tahun 2016 ini. Jumlah ini merupakan penurunan dari total pengungsi Rohingya pada Mei 2015 yang mencapai 1.791 orang.

Berdasarkan laporan SUAKA, setidaknya ada tiga gelombang pengungsian di mana etnis Rohingya memasuki wilayah Indonesia akibat konflik komunal dan kekerasan kemanusiaan yang menimpa mereka di Myanmar. Gelombang pengungsi itu terjadi sekitar tahun 2009, 2012, dan 2015.

Dibawah koordinasi Direktorat Jenderal Imigrasi yang dibantu dengan UNHCR dan International Organization for Migration (IOM), para pengungsi Rohingya ini ditempatkan di sejumlah kamp pengungsian yang terletak di 16 wilayah di Indonesia. Para pengungsi Rohingya paling banyak ditempatkan di wilayah Aceh, Makassar, Medan, dan Jakarta. (rds/ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER