Jerman, CNN Indonesia -- Kanselir Jerman Angela Merkel menyerukan kepada warganya untuk tidak mengenakan cadar,
kain penutup kepala atau muka bagi perempuan."Cadar penuh tidak sesuai di sini, itu seharusnya dilarang dimana pun yang secara hukum memungkinkan. Itu bukan milik kita," kata Merkel saat berpidato di depan Partai
Uni Demokratik Kristen (Christian Democratic Union-CDU), Selasa (6/12) dilansir dari
CNN.
Pernyataan Merkel disambut tepuk tangan para hadirin. Pernyataan ini bukan pertama kali saat pemimpin partai Jerman mengusulkan larangan busana muslim. Sebelumnya, Agustus lalu, Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maiziere juga menyerukan agar jilbab dilarang di tempat-tempat umum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu tidak sesuai dengan masyarakat untuk kami, untuk komunikasi kami, untuk kohesi kami di masyarakat. Itu sebabnya kami menuntuk anda menunjukan wajah," kata Thomas saat itu.
Seruan Merkel serupa dengan larangan yang terjadi di Perancis, Belgia, dan Swiss. Cannes, sebuah kota di Perancis yang terkenal dengan festival film tahunannya, melarang sementara baju renang muslim seperti Burqini digunakan di tempat umum.
Pada April 2011, Perancis menjadi negara Eropa pertama yang melarang warganya mengenakan Burqa, penutuh seluruh tubuh, dan cadar di depan umum. Bagi yang melanggar akan didenda sekitar US$205 atau melakukan pelayanan publik.
Komentar Merkel itu datang beberapa minggu usai ia mengumumkan akan berpartisipasi dalam pemilu keempat dirinya yang berlangsung tahun depan.
Merkel memperkirakan, kampanye 2017 akan menjadi kampanye tersulit dirinya selama ini. Merkel telah membuat marah banyak pemilih dengan keputusannya membuka perbatasan Jerman bagi para imigran, yang sebagaian besar berasal dari zona perang di Timur Tengah. Pada September lalu, partainya juga menderita kekalahan yang signifikan dalam pemilihan lokal.
Penyebab yang juga membuat persaingan pemilu 2017 berat karena sebagaian besar pemilih Jerman akan mencari stabilitas di tengah ketidakpastian setelah pemilihan Brexit di Inggris, pemilihan Donald Trump di Amerika Serikat, dan meningkatnya gerakan populis di beberapa negara Eropa.
(rel)