Cerita Mahasiswi Asal Iran, Korban Kebijakan Imigrasi Trump

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Rabu, 01 Feb 2017 10:51 WIB
Pulang ke AS, perempuan kelahiran Iran dicegat petugas imigrasi Bandara Los Angeles dan dideportasi.
Sekembalinya ke AS pada Jumat (27/1) malam, Sara yarjani perempuan kelahiran Iran dicegat petugas imigrasi Bandara Los Angeles yang berbuntut pada deportasinya. (Reuters/Andrew Kelly)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sara Yarjani, 35, tak menyangka akan kesulitan untuk pulang ke Amerika Serikat, negara yang selama beberapa tahun terakhir telah menjadi rumahnya.

Yarjani telah menghabiskan waktu liburnya pergi mengunjungi saudaranya di Kanada dan orang tuanya di Austria. Sekembalinya ke AS pada Jumat (27/1) malam, perempuan kelahiran Iran itu dicegat oleh petugas imigrasi Bandara Los Angeles untuk pertama kali semasa hidupnya. 

"Saya tidak pernah menyangka akan dihentikan [petugas imigrasi]. Sebelumnya saya keluar masuk AS dan diperlakukan sangat baik, keluar masuk bea cukai bandara hanya dalam beberapa menit saja," ungkap mahasiswi pascasarjana California Institute for Human Science itu kepada AFP pada Selasa (31/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itu, Yarjani merasa pemeriksaan bandara kali ini akan berjalan panjang. Bagaimana tidak, petugas imigrasi mengambil paspornya dan menggiringnya ke sebuah ruang tunggu.


Terlebih, kedua petugas imigrasi itu menyalak sambil meminta Yarjani jongkok sambil mengangkat kedua tangannya. Yarjani juga diminta untuk melepaskan selendang, perhiasan, dan sepatu tali yang ia kenakan.

Setelah hampir empat jam dirundung kebingungan tanpa diperbolehkan menghubungi orang terdekat, Yarjani yang memiliki kartu hijau atau permanent resident di AS, diminta untuk menandatangani sejumlah formulir deportasi. Seorang petugas imigrasi menyatakan padanya bahwa visa pelajar yang ia miliki sudah tidak berlaku lagi.

[Gambas:Video CNN]

Yarjani mengaku, seorang petugas mengatakan bahwa dirinya harus keluar dari AS. Petugas tersebut hanya memberikan dua pilihan kepadanya, setuju meninggalkan AS secara sukarela atau dideportasi paksa dengan sanksi tidak dapat memasuk AS selama lima tahun atau lebih.

"Petugas imigrasi itu memperlakukan saya dengan cara mengancam, menyebabkan saya merasa tidak punya pilihan apa-apa," ungkapnya.


Saat itu, Yarjani baru tersadar bahwa dirinya menjadi salah satu korban perintah eksekutif kontroversial yang baru saja ditandatangani Presiden Donald Trump pada Jumat pekan lalu.

Garis besar dari protokol baru ini adalah larangan masuk ke AS sementara bagi pengunjung dan imigran yang berasal dari tujuh negara Muslim yang dinilai memiliki resiko tinggi aktivitas terorisme. Ketujuh negara itu adalah Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.

Perintah eksekutif ini telah menimbulkan keributan di sejumlah bandara AS dan bahkan di beberapa negara lain. Imigran maupun pengungsi yang sebetulnya sudah mendapat visa, gagal masuk Amerika. Banyak juga yang gagal berangkat dari bandara keberangkatan.

Meskipun Yarjani telah memperlihatkan sejumlah berita yang memaparkan bahwa hakim federal telah menangguhkan kebijakan Trump tersebut, dua petugas bandara bersenjata berkeras menggiringnya masuk ke pesawat yang akan membawanya kembali ke Eropa.


Saat ini, Yarjani tinggal sementara bersama orang tuanya di Austria dan tetap berupaya mencari jalan keluar untuk bisa kembali ke Negeri Paman Sam untuk melanjutkan studinya.

"Saya sangat menyayangkan peristiwa ini. Saya merasa diperlakukan seperti penjahat. Dicegat untuk memasuki suatu negara untuk melanjutkan studi tidaklah masuk akal. Saya telah bekerja keras selama beberapa tahun untuk bisa melanjutkan studi saya di AS ini," tutur Yarjani. (aal)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER