London, CNN Indonesia --
“Women are not going to be abused.
They are the heart of the rose.
Life is beautiful yet cruel, so please let me land, let me thank, let me dance,
because I want to live.”
Itu lah sepenggal puisi yang dibacakan Rehab Jameel, seorang pengungsi asal Libya yang bermukim di Inggris. Perempuan itu mengumandangkan frasa karangannya di tengah ribuan orang, yang memprotes pelarangan muslim dari tujuh negara ke Amerika Serikat.
Pada Senin petang (30/1) di London, Inggris, Jameel dan para demonstran juga mendesak Perdana Menteri Inggris Theresa May, untuk mencabut kembali undangan kunjungan negara yang diberikan kepada Trump selepas pelantikan.
Ini bukan kali pertama Jameel tampil di muka umum untuk membaca puisi dan mengekspresikan gagasannya sebagai bentuk solidaritas. Namun, kegusaran itu tampak nyata. Gugupnya pun terdengar jelas dari caranya berbicara yang sedikit terbata-bata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kebijakan Trump merobek keutuhan masyarakat Amerika dan melanggengkan perpecahan dan akan merusak harmoni sosial antar kelompok etnik,”Rehab Jamee |
Selama puluhan tahun menjadi imigran muslim, Jameel merasa rasisme menjadi masalah utama yang menimpanya. Ia tak ingin penyakit masyarakat itu semakin menjamur di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.
“Tolong jangan ‘berperang’ dengan saya, saya wanita yang cinta damai,” ujar Jameel saat berorasi.
Belakangan Trump meneken kebijakan untuk menolak permohonan visa para korban perang dari tujuh negara yang mayoritas muslim seperti Iraq, Iran, Suriah, Sudan, Somalia, Libya, dan Yaman.
Bagi Jameel, Amerika Serikat yang semula adalah tanah harapan bagi kaum imigran pun berubah menjadi tanah penuh diskriminasi. Kebijakan Trump, menurut perempuan yang juga merupakan pegiat di sejumlah organisasi untuk pengungsi ini, telah merusak sendi-sendi demokrasi, kebebasan, dan perdamaian.
“Kebijakan Trump merobek keutuhan masyarakat Amerika dan melanggengkan perpecahan dan akan merusak harmoni sosial antar kelompok etnik,” kata Jameel.
Dia pun mengajak masyarakat dan para pegiat demokrasi untuk bersatu dan menolak kebijakan Trump, sekaligus kunjungan negara presiden tersebut ke Inggris.
Usai Jameel membacakan puisi, gemuruh tepuk tangan terdengar dari ribuan demonstran yang menyemuti Downing Street di London.
 Warga London mendesak Perdana Menteri Inggris Theresa May untuk menolak kunjungan negara Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (CNN Indonesia/Aghnia Adzkia) |
Mereka bersorak, “
No state visit. No. state visit. Trump has got to go.”
Jameel, pemilik gelar Master Pembangunan Berkelanjutan di Universitas Cambridge, merupakan sosok panutan bagi kaum pengungsi perempuan lainnya lantaran mampu bergulat dengan seluruh masalah yang mengusiknya.
Bersama Jameel, seorang pengungsi perempuan asal Palestina bernama Shahd Abusalama, yang kini tengah menempuh studi master di kota Big Ben, juga mengungkapkan kemarahannya atas tindakan rasisme Trump, terutama untuk kaum pengungsi perempuan.
“Pengungsi perempuan berjuang bersama di pengasingan, di mana kami bisa menjadi ancaman untuk yang lain,” ujar Abusalama saat membacakan puisi di tengah aksi demonstrasi.
Suara Abusalama melengking saat ia bercerita keinginannya untuk dianggap sebagai manusia biasa, alih-alih pengemis identitas. “Kami ingin kehidupan yang lebih bermartabat dan aman,” ucapnya.
Abusalama yang lahir di kamp pengungsi di sebelah utara Gaza ini pun berontak ketika Trump berusaha melarang kaum pengungsi dari tujuh negara muslim.
Ia ingin diskriminasi itu tak lagi menghantui hidup para pengungsi yang telah susah payah lari dari perang. Sebagai seorang Palestina yang sudah muak dengan perang, masa seperti ini pun menjadi penting untuk bergandengan tangan melawan ketidakadilan.
“Kami telah mengalami kekerasan dan masa-masa yang mengancam nyawa dan masa di mana kami berusaha menyebrang batas militer Israel dengan tanah kelahiran kami,” kata Abusalama.
“Kami pernah dihina, ditahan, dan diinterogasi saat menyebrang batas. Satu-satunya tindak kriminal kami adalah karena paspor kami Palestina.”
Solidaritas lain datang dari seorang pengungsi asal Aljazair Malia Bouattia. Bersama keluarganya, ia bermigrasi ke Inggris sejak umur 7 tahun.
Melarikan diri dari perang membuat Bouattia mengalami tindak kejahatan di luar batas kemanusiaan lantaran warna paspornya yang berbeda.
“Saya muslim yang Trump ingin larang masuk. Saya berdiri di sini sebagai presiden NUS (National Union of Student) mengatakan tidak untuk pelarangan Trump dan seluruh rasisme,” teriaknya.
(les)