Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang eks polisi Filipina mengaku bahwa Presiden Rodrigo Duterte pernah mengoperasikan "pasukan penjagal" untuk membunuh para pelaku tindakan kriminal saat masih menjabat sebagai Wali Kota Davao. Duterte bahkan membayar pasukan tersebut.
"Semua pembunuhan yang telah kami [polisi] lakukan di Kota Davao, baik dengan mengubur mau pun membuang mereka ke laut, dibayar oleh Duterte," ujar Arturo Lascanas, pensiunan polisi wilayah Davao, seperti dikutip
Reuters, Senin (20/2).
Ia kemudian menjabarkan, aparat biasanya dibayar 20 ribu-50 ribu peso, sesuai dengan target pelaku kriminalnya. Dalam situasi khusus, mereka bahkan bisa dibayar hingga 100 ribu peso.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lascasnas sendiri mengaku pernah membunuh seorang penyiar radio yang kerap mengkritik Duterte atas perintah ajudan dari pejabat yang kini menjadi orang nomor satu di negara itu.
Menurut kelompok pemerhati HAM, setidaknya 1.400 pembunuhan mencurigakan terjadi di Davao sejak awal 1990-an.
Selama 22 tahun menjadi wali kota Davao hingga kini menjabat sebagai presiden, Duterte berulang kali membantah segala tudingan tersebut. Kepala kepolisian juga menganggap tuduhan adanya pasukan penjagal itu adalah fiksi dan rekayasa belaka.
Sementara itu, sekretaris bidang komunikasi Presiden Filipina, Martin Andanar, mengatakan bahwa klaim Lascanas ini merupakan drama politik berlarut-larut sebagai upaya pembunuhan karakter.
Menurutnya, komentar Lascasnas ini berbeda dengan pengakuan yang dibuatnya saat sidang dengar pendapat di Senat pada Oktober lalu atas dugaan kampanya anti-narkoba yang melanggar hukum.
Saat itu, Lascasnas dikabarkan membantah dibentuknya kelompok pembunuh bayaran di Kota Davao oleh Duterte.
Namun dalam sidang itu, seorang yang mengaku pernah menjadi salah satu algojo, Edgar Matobato, mengklaim pernah melihat Duterte menembak mati seorang pria dan memerintahkan polisi untuk membunuh tersangka kriminal.
Pendekatan brutal Duterte ini dianggap serupa dengan kebijakan anti-narkoba yang kini tengah ia jalankan dan menuai kecaman internasional.
Pasalnya, melalui kebijakannya ini, Duterte seakan memberikan impunitas bagi kepolisian untuk membunuh para penjahat narkoba.
Sejak kebijakan ini diberlakukan pada pertengahan 2016 silam, kampanye anti-narkobanya itu disebut telah memakan korban 7 ribu jiwa terduga kriminal.
Setidaknya 2 ribu terduga pengedar narkoba tewas di tangan polisi tanpa melalui proses hukum yang jelas.
Banyap pihak beranggapan, pembunuhan kriminal narkoba ini juga dimanfaatkan polisi korup untuk menutupi jejak kotor mereka yang sebenarnya juga terlebilat dalam kejahatan narkoba tersebut.