Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Dalam Negeri Myanmar dilaporkan tengah menyelidiki kasus kematian dua warga etnis minoritas Muslim Rohingya yang selama ini tak terungkap di negara bagian Rakhine.
Melalui dokumen internal polisi perbatasan (BGP) berjudul
A Cover Up of Two Deaths by Border Guard Police yang didapat
Reuters, Rabu (22/2), dua pria Rohingya itu tewas di tangan petugas BGP di Desa Nga Khu Ya, wilayah Maungdaw, pada 18 Oktober lalu, saat bentrokan aparat dan kaum Rohingya kembali terjadi.
Kedua pria yang diketahui merupakan seorang ayah dan anak laki-lakinya ini tewas dalam penahanan saat diperiksa polisi atas dugaan "membantu pemberontak." Dokumen tersebut tidak menjelaskan penyebab kematian kedua orang Rohingya itu
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alih-alih melaporkan insiden itu pada pemerintah pusat, petugas BGP wilayah tersebut malah dipindah tugaskan kepada pusat penahanan lain.
Kepala BGP wilayah Maungdaw, Thura San Lwin, mengatakan dokumen tersebut telah diserahkan ke markas besar polisi di ibu kota Naypyitaw. Dokumen internal ini merupakan pengakuan resmi pertama atas kesalahan aparat keamanan mereka.
Bentrokan yang kembali mencuat antara aparat keamanan dan warga Rohingya, yang kerap dianggap pemerintah sebagai "teroris" atau "pemberontak," sejak awal Oktober lalu telah menewaskan setidaknya 80 lebih warga di Rakhine. Insiden ini juga memaksa sekitar 70 ribu orang melarikan diri melintasi perbatasan menuju Bangladesh.
Bentrokan tersebut lagi-lagi dianggap mengincar warga minoritas Muslim, khususnya etnis Rohingya, yang selama ini dilaporkan sering mendapat diskriminasi bahkan tak pernah diakui pemerintah sebagai warga negara Myanmar.
"Kami pasti mengambil tindakan untuk menghukum mereka yang berbohong. Kami tidak akan ampuni dan menghukum mereka yang melanggar," ucap San Lwin.
San Lwin mengatakan, dua petugas yang ada dalam laporan itu tengah diperiksa oleh Kemendagri. Meski begitu, dia menolak untuk menjelaskan lebih rinci dugaan insiden serupa lainnya yang terjadi.
Berbeda dengan San Lwin, juru bicara Kemendagri, Kolonel Polisi Myo Thu Soe membantah laporan tersebut. Ia mengatakan, pemerintah tidak sedang menyelidiki kasus ini lantaran tidak ada petugas BGP yang berbohong atau menyembunyikan kematian.
Thu Soe mengklaim, dua warga Rohingya yang ditahan itu tewas karena asma dalam perjalanan mereka menuju rumah sakit.
Meskipun begitu, seorang pejabat senior Kemendagri membenarkan keaslian dokumen dengan menyebut bahwa kasus ini bukan satu-satunya yang sedang diselidiki lembaganya.
Kematian dua warga Rohingya ini disinyalir hanya sebagian kecil di antara ratusan korban tewas lainnya.
"Kasus pelanggaran oleh aparat keamanan adalah hal lumrah di Myanmar. Banyak kasus pelanggaran lain yang perlu diangkat ke publik," tutur Wakil Direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson.
Isu kekerasan terhadap Rohingya kembali mencuat sejak insiden penyerangan pos pengamanan di tiga wilayah perbatasan Myanmar di Rakhine oleh sejumlah kelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu, menewaskan 9 polisi.
Pemerintah Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik serangan, meski belum ada bukti konkret.
Alih-alih memburu para pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga malah menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta hingga menewaskan setidaknya 80 orang.
Komisi HAM PBB bahkan memperkirakan jumlah kaum Rohingya yang menjadi korban ini bisa mencapai ribuan orang.
Menanggapi kecaman dan desakan dunia internasional terkait dugaan pelanggaran HAM di negaranya, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi menyatakan niatnya untuk mulai menyelidiki kasus kekerasan yang menimpa warga Rohingya ini.
Pemerintahnya dikabarkan tengah membentuk "departemen penyelidikan" untuk membuktikan kebenaraan mengenai dugaan kekejaman yang dilakukan aparat keamanan negaranya tersebut.
(aal)