Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Amerika Serikat Donald Trump memecat seorang jaksa terkemuka yang menolak diminta mengundurkan diri. Peristiwa ini menambah kabar miring terkait langkah yang disebut sebagai pergantian pejabat rutin ini.
Pemecatan Jaksa New York Preet Bharara pertama kali terdengar lewat Twitter, memancing pertanyaan soal kemampuan Trump mengisi jabatan-jabatan inti di pemerintahannya.
Hingga saat ini, dia belum mengajukan satu pun kandidat untuk mengisi 93 posisi jaksa distriknya, bahkan setelah Kementerian Kehakiman meminta 46 orang yang belum mengajukan pengunduran diri untuk menyerahkan surat berhenti, Jumat ini (10/3). Posisi kunci di lembaga seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan juga masih belum terisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai jaksa federal untuk Manhattan dan sekitarnya sejak 2009 lalu, Bharara mengamankan sejumlah kesepakatan perdagangan dari firma-firma di Wall Street dan memenangkan banyak kasus korupsi serta terorisme.
November lalu, dia mengatakan kepada wartawan bahwa Trump memintanya untuk terus menjabat, dan dia menolak untuk mengundurkan diri ketika diminta oleh Kementerian Kehakiman, Jumat itu. Keesokan harinya, di sore hari, dia mengatakan dirinya telah dipecat.
"Melayani negara sebagai seorang jaksa di sini selama tujuh tahun ke belakang akan selamanya menjadi kehormatan terbesar dalam kehidupan profesional saya, tak peduli hal lain yang saya kerjakan atau berapa lama umur saya," kata Bharara dalam pernyataan pers yang dikutip Reuters, Minggu (12/3).
Kementerian Kehakiman mengonfirmasi bahwa Bharara tidak lagi menjabat di posisinya dan menolak berkomentar lebih jauh.
Seperti semua jaksa AS, Bharara adalah utusan politik yang bisa diganti ketika presiden baru menjabat. Presiden lain sering kali meminta jaksa dari pemerintahan sebelumnya untuk bertahan hingga sang pengganti dikonfirmasi oleh Senat.
The Washington Post, mengutip dua orang yang dekat dengan Trump, mengatakan penasihat Presiden Stephen Bannon dan Jaksa Agung Jeff Sessions menginginkan jajaran jaksa yang bersih untuk menegaskan kekuatan pemerintah.
Namun, keputusan untuk mengganti begitu banyak jaksa dalam waktu yang bersamaan memancing pertanyaan soal masalah penegakan hukum yang mungkin terganggu.