Menelisik Rancangan Reformasi Konstitusi Kontroversial Turki

CNN Indonesia
Senin, 13 Mar 2017 17:56 WIB
Parlemen menyetujui usulan reformasi konstitusi yang diajukan pemerintah Turki, yang dinilai terlalu memusatkan kekuasaan di tangan seorang presiden.
Reformasi konstitusi ini akan menghilangkan kursi perdana menteri dari sistem pemerintahan Turki. (Reuters/Osman Orsal)
Jakarta, CNN Indonesia -- Awal Januari lalu, parlemen Turki akhirnya menyetujui rancangan reformasi konstitusi yang akan memberikan kekuasaan lebih bagi kepala pemerintahan yang kini diduduki oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan. Salah satunya, potensi memperpanjang masa jabatannya hingga 2029.

Perubahan konstitusi ini menimbulkan gejolak dalam politik Turki. Sejumlah kelompok oposisi menilai langkah ini merupakan awal terbentuknya pemerintah otoriter. Penilaian miring juga datang dari luar negeri, misalnya dari beberapa negara Eropa seperti Jerman, Austria, dan Swiss. Baru-baru ini hubungan Turki dengan Belanda bahkan memanas terkait pelarangan demonstrasi. Sabtu kemarin, Menteri Luar Negeri Turki bahkan dilarang mendarat di Rotterdam. 

Sejumlah pengamat menilai, model reformasi yang diusulkan Turki ini dinilai menurunkan mekanisme check and balance yang dapat menjamin pemerintah tetap transparan dan akuntabel.
Berikut sejumlah hal penting mengenai isi reformasi konstitusi yang diajukan pemerintahan Erdogan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Inti Amandemen Konstitusi

Gagasan untuk mereformasi konstitusi pertama kali diajukan oleh partai berkuasa, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), tak lama setelah memenangkan pemilihan umum 2011 meski tak kunjung mendapat perhatian yang besar.

Pada 2014, setelah Erdogan didapuk menjadi presiden terpilih secara demokratis pertama, gagasan tersebut kembali muncul.

Reformasi konstitusi ini akan menghilangkan kursi perdana menteri dari sistem, menjadikan presiden bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dan pemimpin partai berkuasa. Selain itu, amandemen ini nantinya memberikan kewenangan presiden untuk mengeluarkan dekrit.
Rancangan konstitusi itu juga memberikan kewenangan presiden untuk menunjuk sendiri menteri kabinetnya dan sebagian besar anggota badan peradilan tertinggi negara tanpa perlu konfirmasi dari parlemen, serta mengusulkan anggaran.

Jika reformasi konstitusi ini lolos dalam referendum pada pertengahan April mendatang, presiden juga akan memiliki kewenangan membubarkan majelis nasional dan memberlakukan keadaan darurat.

Terlebih, usulan perubahan ini memperkenalkan prosedur teknis yang kian mempersulit langkah parlemen menjatuhkan presiden dari jabatannya dengan mosi tidak percaya.

Sementara pemilihan anggota parlemen akan diadakan lima tahun sekali dan dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu presiden.
Selain itu, paket reformasi ini juga turut mengusulkan penambahan jumlah anggota parlemen menjadi 600 orang serta menurunkan usia minimal kandidat politikus menjadi 18 tahun.

Diberitakan The Independent, Sabtu (11/3), usulan reformasi menimbulkan perpecahan pendapat di kalangan publik.

Pendukung pemerintah menilai, kewenangan besar presiden justru dapat memperkuat posisi Turki dalam menghadapi ancaman keamanan domestik maupun global.

Sementara sejumlah kritikus menganggap pemusatan kewenangan di tangan presiden hanya akan memicu tendesi pemerintahan otoriter.

Salah satu contohnya tergambar pada kampanye antiterorisme pemerintah yang telah membinasakan sebagian besar pihak pro-Kurdi, penahanan lebih dari 100 wartawan, dan ratusan tuntutan hukum atas pencemaran nama baik terhadap presiden.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER