Jakarta, CNN Indonesia -- Beijing akan menjadi tuan rumah pertemuan pembahasan kesepakatan awal dengan ASEAN soal kerangka kerja kode etik (Code of Conduct atau CoC) terkait Laut China Selatan pada Mei mendatang. Pertemuan ini dilakukan sebagai upaya jangka panjang meredakan ketegangan akibat sengketa dan menjamin keamanan di kawasan.
"Mungkin pada waktunya nanti, kami akan membuat kemajuan yang signifikan pada kerangka kerja CoC ini," ungkap Menteri Luar Negeri Filipina Enrique Manalo seperti dikutip
Straits Times, Jumat (24/3).
Pembicaraan CoC ini sudah dilakukan oleh ASEAN dan China sejak lebih dari satu dekade lalu, dengan harapan dapat meredakan ketegangan di kawasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, negosiasi berjalan lambat lantaran suara konsesus ASEAN sulit dipahami China. Beijing juga berkeras menolak sejumlah aturan yang menghalangi patroli lautnya di perairan tersebut.
Sekitar Februari lalu, Manalo mengatakan, Filipina sebagai ketua ASEAN 2017 ini berharap pembicaraan CoC LCS dapat rampung di bawah kepemimpinannya.
Dia mengatakan, ASEAN berupaya mempercepat penyelesaian kerangka CoC yang ditargetkan selesai sekitar pertengahan tahun ini. Draf kerangka CoC, lanjutnya, juga sudah diedarkan untuk ditandatangani oleh 10 negara anggota ASEAN.
"Saya tidak memastikan ini akan terjadi. Tapi harapan semua pihak bahwa pada pertemuan Mei nanti ... pejabat senior mungkin sudah memegang kesepakatan awal soal kerangka kerja CoC," kata dia.
Meski begitu, Manalo enggan membahas secara khusus mengenai kerangka kerja yang dimaksud. Dia hanya menyatakan, kerangka CoC berusaha memasukkan semua unsur yang telah disepakati dalam Deklarasi Perilaku Pihak-Pihak di LCS Tahun 2002.
Dalam deklarasi, kedua belah pihak sepakat "mengendalikan diri" mencegah tindakan yang bisa memperumit sengketa, termasuk menghindari tindakan militer dalam penyelesaian konflik.
LCS menjadi salah satu kawasan yang sangat berpotensi menimbulkan konflik sejak 90 persen wilayah perairan itu diklaim oleh China. Klaim tersebut tumpang tindih dengan pengakuan sejumlah negara lain di Asia Tenggara, seperti Filipina, Brunei, dan Malaysia.
Perairan ini diketahui memiliki cadangan mineral yang melimpah dan menjadi salah satu jalur perdagangan laut utama yang memiliki nilai mencapai US$5 triliun per tahun, atau sepertiga dari total perdagangan global.
Konflik maritim ini tak kunjung rampung meskipun Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) telah mentapkan bahwa klaim China atas perairan tersebut tidak sah.
Karena itu, kerangka CoC di kawasan menjadi krusial untuk ditetapkan. CoC bisa menjadi pedoman negara-negara untuk bertindak untuk menghindari konflik di kawasan dan diharapkan bisa bersifat mengikat secara hukum.