Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah berulang kali membantah, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, akhirnya mengakui keberadaan Pasukan Kematian (DDS) di Kota Davao saat ia menjabat sebagai wali kota pada masa darurat militer.
Duterte mengatakan, pasukan kematian itu dibentuk untuk melawan komplotan algojo komunis bernama SPARU yang beroperasi di masa darurat militer pada 1972-1981.
"Jika kalian benar-benar bertanya, saya tidak akan berkilah. Tak perlu ada permintaan maaf, tapi kalian harus tahu mengenai DDS. Mereka dibentuk untuk melawan SPARU di Davao," ujar Duterte sebagaimana dikutip
The Inquirer, Kamis (9/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberadaan DDS mulai menjadi perhatian setelah berbagai kelompok pemerhati hak asasi manusia merilis dokumentasi sekitar 1.400 pembunuhan mencurigakan di Davao saat Duterte menjabat sebagai wali kota.
Selama ini, Duterte selalu menampik keterlibatannya dalam rentetan pembunuhan pelaku tindak kriminal selama 22 tahun ia menjabat sebagai wali kota di Davao.
Sejumlah penyelidikan sudah dilancarkan, tapi banyak yang tidak dapat membuktikan keterlibatan Duterte. Hingga akhirnya, seorang mantan polisi Davao, Arturo Lascanas, mengakui keberadaan DDS dalam sidang di parlemen pada dua pekan lalu.
Saat itu, Lascanas bercucuran air mata karena ketakutan. Lascanas mengaku bahwa selama ini, ia terus berbohong di hadapan Senat Filipina karena takut keluarganya terjerumus dalam bahaya jika mengakui keberadaan "pasukan kematian" itu.
Dalam sidang lanjutan pada Selasa (7/3), Lascanas bahkan mengaku sudah membunuh 200 pelaku tindak kriminal bersama DDS yang dibentuk di bawah komando Duterte.
Duterte sendiri pernah mengakui bahwa ia bahkan kerap menghabisi nyawa pelaku tindak kriminal dengan tangannya sendiri. Namun kemudian, Duterte menolak penyelidikan lebih lanjut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setelah menjabat sebagai presiden pada Juni tahun lalu, Duterte langsung mencanangkan kampanye perang terhadap narkoba. Sejak saat itu lebih dari 8.000 orang terduga pengedar narkoba tewas tanpa proses peradilan yang jelas.
Kepolisian hanya mengklaim bertanggung jawab atas 2.555 kasus, sementara yang lainnya disebut sebagai korban dari persaingan antar-kelompok pengedar narkoba.
(has)