Jakarta, CNN Indonesia -- Demonstrasi anti-korupsi yang berlangsung di berbagai penjuru Rusia pada Minggu (26/3) kemarin diikuti oleh mayoritas kalangan muda, tak terkecuali di ibu kota Moskow. Mereka mendukung aksi yang diprakarsai oleh oposisi Rusia, Alexei Navalny, untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas dugaan korupsi Perdana Menteri Dmitry Medvedev.
Salah satu peserta demo, Timur Efremov, mengatakan bahwa aksi ini adalah bentuk luapan amarah warga Rusia yang sudah bosan dengan tingginya tingkat korupsi negara. Selain itu, kesenjangan sosial antara kaya dan miskin juga membuat perekonomian negara semakin parah.
"Di Rusia sekarang berlaku sistem neofeodalisme. Ada kelompok orang yang mendapat semua keuntungan yang seharusnya dialihkan ke bantuan sosial," ujar Efremov, 23, saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Senin (27/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut kepolisian setempat, jumlah massa yang berkumpul di jalan Tverskaya, Moskow, setidaknya berkisar delapan ribu orang. Namun, perkiraan tersebut disangsikan oleh para peserta demo yang mengklaim jumlah mereka mencapai 15 ribu orang.
Awalnya, demonstrasi berlangsung damai. Namun, kericuhan terjadi setelah polisi menangkap para peserta demo, terutama mereka yang memegang poster.
Tak hanya itu, polisi juga menembakkan gas air mata di lapangan Pushkin sekitar pukul 15.30 sore waktu setempat, tetapi hal tersebut dibantah pihak kepolisian.
Lebih dari seribu orang diperkirakan ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dalam waktu satu hari, termasuk pemrakarsa aksi Navalny yang divonis kurungan penjara 15 hari.
Salah satu peserta demo lainnya memprediksi tak akan ada aksi unjuk rasa lanjutan setelah ini. Ia mengatakan, kebanyakan warga Rusia khawatir negaranya akan bernasib sama seperti Ukraina.
"Mereka hanya lebih memilih untuk hidup seperti saat ini. Bagi mereka, politik hanya untuk politikus dan aksi masyarakat tak akan berpengaruh dalam keputusan yang dibuat pemerintah. Istilahnya, 'bukan urusan kami,’” ujar Alexandra Alyoshina, 23.