Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Donald Trump berjanji akan mengedepankan Amerika Serikat, menentang konstruksi global pasca-Perang Dunia II yang menempatkan Negeri Paman Sam sebagai polisi dunia.
Selama kampanye, Trump mengatakan Amerika tidak bisa terus-menerus mengintervensi urusan negara-negara asing dan menjaga ketertiban internasional.
Bak anak nakal, dia juga menunjukkan sikap keras dan pernyataan kontroversial terhadap sejumlah hubungan kunci di Eropa dan Asia, pakta perdagangan, organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, bahkan sekutu Amerika seperti Meksiko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, sejak dilantik, Trump secara perlahan mulai berubah haluan.
Sang Presiden populis kini mulai merangkul NATO, menguatkan kembali hubungan dengan para sekutunya, menegakkan norma internasional melawan senjata kimia di Suriah dan mengirim lebih banyak pasukan untuk membantu menyelesaikan konflik global.
Selama 100 hari menjabat sebagai orang paling penting di AS, Trump tampaknya mulai menyadari perannya dalam politik dunia.
Dia pun menjalankan peran tradisional presiden AS dalam kebijakan luar negeri selama ini, yakni menjadi pelindung utama bagi sistem itu sendiri.
"Dia berubah 180 derajat," kata James Jeffrey, mantan duta besar Amerika untuk Irak dan Turki, dikutip
CNN. "Dan dalam beberapa hal, perubahan itu baik."
Sejumlah analis menyebut beberapa faktor berperan dalam perubahan ini, termasuk kenyataan yang dihadapi dalam peristiwa global, tawaran dari pemimpin negara-negara asing dan mulai masuknya para ahli hubungan luar negeri di kabinet Trump.
Namun, beberapa pihak memperingatkan bahwa sang Presiden--dengan pengalaman minim dalam bidang hubungan luar negeri dan ratusan posisi staf keamanan nasional yang masih belum diisi--adalah seorang pemimpin reaktif sekaligus taktis yang masih belum mempunyai visi strategis.
Bahkan, dia lebih suka mengungkapkan pikirannya melalui serentetan pernyataan 140 karakter di Twitter.
Para analis juga menyoroti fakta bahwa banyak masalah yang membayangi kepresidenan Trump beberapa bulan belakangan ini terkait dengan hubungan orang-orang dekatnya dengan entitas global. Hal ini bisa merugikannya.
Biro Investigasi Federal atau FBI menyelidiki apakan ada koordinasi yang dilakukan antara Trump dan Moskow ketika Rusia diduga meretas organisasi Partai Republik untuk menguntungkan kandidat Republik pada 2016 lalu.
Penasihat keamanan Trump, Michael Flynn, mesti mundur dari jabatan setelah kedapatan berhubungan lewat telepon dengan duta besar Rusia, sementara dugaan pekerjaannya sebagai agen ganda selama transisi pemerintahan masih memancing kritik.
Heather Conley, Direktur Program Eropa di Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan hal ini pasti menggoyahkan optimisme pengamat mana pun yang berpikir Trump bakal mengadopsi pendekatan standar di bidang hubungan luar negeri.
"Kita menghibur diri sendiri dan beranggapan bahwa hal ini normal, tapi kita harus melawan pandangan itu," ujarnya.
Namun, perlu juga dicatat bahwa setiap presiden memerlukan waktu untuk belajar.
"Tidak ada sekolah untuk presiden," kata Aaron David Miller, mantan negosiator perdamaian Timur Tengah untuk Kementerian Luar Negeri yang kini bekerja di Wilson Center. "Masalahnya bagi saya adalah, apakah dia belajar? Itu pertanyaan utamanya."
Namun, Miller dan Jeffrey sama-sama menyoroti fakta bahwa Trump telah mengumpulkan penasihat berpengalaman, terutama Menteri Pertahanan James Mattis dan penasihat keamanan nasional HR McMaster.
"Mereka sangat percaya pada sistem, dan kita harus percaya pada sistem karena alternatifnya hanya kekacauan," kata Jeffrey.
Trump telah menunjukkan kemauan untuk menghormati mereka, kata Miller menambahkan.
Sebelum terpilih, Trump mendukung kekerasan dalam pemeriksaan narapidana. Setelah menjabat, dia berputar haluan, mengaku diberi tahu oleh Mattis bahwa pemeriksaan dengan "sebungkus rokok dan beberapa gelas bir" kerap lebih ampuh untuk mengorek informasi.
Trump akhirnya mengandalkan kekuatan militer untuk menyelesaikan sejumlah perselisihan global, mulai dari mengirimkan kapal induk USS Carl Vinson ke Semenanjung Korea, menjatuhkan bom terbesar yang ada di gudang senjatanya ke Afghanistan, hingga meluncurkan peluru kendali Tomahawk ke Suriah.
Namun, di saat yang sama, dia juga mulai bergerak untuk memangkas anggaran Kementerian Luar Negeri secara drastis.
"Semua orang terfokus pada serangan Tomahawk, perselisihan dengan Korea Utara," kata Christine Wormuth, mantan wakil menteri keamanan di pemerintahan Obama. "Tapi itu hanya respons taktis. Pada akhirnya pemerintahan Trump mesti punya strategi nyata dan di sana harus ada komponen diplomatik."
Awal bulan ini, Trump menyinggung perbedaan antara berkampanye dengan berinteraksi secara nyata di dunia.
Salah satu tantangan paling beratnya saat ini bisa jadi soal Korea Utara, yang siap melaksanakan uji coba nuklir keenam dan mengancam akan menghantam Amerika Serikat dengan senjata mematikannya. Trump ingin China membantunya mengatasi masalah tersebut.
"Bagaimana mungkin saya menyebut China sebagai manipulator mata uang ketika mereka bekerja sama dengan kita mengatasi masalah Korea Utara?" tulisnya lewat Twitter, merujuk pada pernyataan terdahulu sekaligus menunjukkan perubahan pandangan terhadap Beijing.
Para pemimpin negara asing juga bermain peran dalam hal ini, kata Jeffrey, terutama Presiden Israel Benjamin Netanyahu dan para pemimpin negara-negara Teluk seperti Arab Saudi.
"Sistem ini memberikan mereka keuntungan," kata Jeffrey merujuk pada konstruksi global yang mengandalkan peran Amerika dalam menegakkan ketertiban global.
Mereka "cemas" menghadapi presiden "yang datang dan menghina segala hal begitu saja."
"Lalu mereka berdatangan ke Washington dan memohon, 'jadilah polisi dunia'."
"Dia pun sepakat."