Jepang Bergulat dengan Larangan Merokok Jelang Olimpiade

CNN Indonesia
Rabu, 03 Mei 2017 01:27 WIB
Jepang dituntut untuk memberlakukan larangan merokok di tempat publik, jelang Olimpiade 2020. Namun, banyak pihak menentang usulan tersebut.
Ilustrasi rokok. (REUTERS/Lisi Niesner)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tokyo berisiko menjadi tuan rumah Olimpiade paling tidak sehat dalam beberapa tahun belakangan, sementara peraturan larangan merokok masih menimbulkan perdebatan soal pemasukan pajak tembakau, kebebasan pribadi dan bahaya perokok pasif--penyebab kematian ribuan warga Jepang setiap tahun.

Jepang menerima tekanan menjelang Olimpiade Musim Panas 2020, termasuk dari dari Komite Olimpiade Internasional (IOC), untuk mengikuti jejak Rio de Janeiro dan sejumlah tuan rumah lain yang melarang warga merokok di semua tempat publik dalam rangka menciptakan lingkungan olahraga sehat.

Namun, pengajuan awal larangan merokok di ruang-ruang tertutup di seluruh Jepang ditentang oleh para politisi pro-rokok, pemilik restoran dan Japan Tobacco, yang sepertiga sahamnya dikuasai pemerintah dan berkontribusi $700 juta dividen pada negara, 2015 lalu.
Kementerian Kesehatan merevisi rencana tersebut, memperbolehkan merokok di ruangan berukuran 30 meter persegi selama ada ventilasi yang cukup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, oposisi menyatakan langkah ini masih merugikan banyak restoran Jepang, membatasi kebatasan pribadi dan mengurangi pemasukan pajak tembakau--yang mencapai 2 trilun yen pada 2014-2015.

Natsuko Takami, pengelola pub cukup kecil di Tokyo yang masih bisa digunakan untuk merokok di bawah revisi tersebut, takut kehilangan pemasukan karena tidak bisa memasang ventilasi baru dan bisa diden 500 ribu yen jika seorang pelanggan menyalakan rokok. Perokok itu sendiri bisa didenda 300 ribu yen.

"Saya pikir orang tidak akan lagi datang ke sini," ujarnya sebagaimana dikutip Reuters. Dia juga mengatakan rokok dan minuman keras membantu warga Jepang yang tertutup untuk lebih membuka diri.
Sementara itu, komite kesehatan Partai Liberal Demokrat menyatakan tidak akan menemui pejabat-pejabat kementerian, menyebut revisi peraturan tersebut masih terlalu ketat. Suara partai penguasa itu sangat berpengaruh dalam pengesahan undang-undang di parlemen.

Ketua komite, Naomi Tokashiki, mengakui mesti ada hukum yang melindungi perokok pasif. Namun, dia juga mengatakan penekanan budaya Jepang yang sopan dan sensitivitas pada orang-orang yang ada di sekitar sudah cukup.

"Saya yakin warga Jepang sangat memperhatikan orang-orang di sekitarnya," kata dia. "Lebih penting untuk mempercayai orang-orang ketimbang memberlakukan hukum represif."

Namun, otoritas kesehatan tidak sepakat, menyoroti 15 ribu kematian perokok pasif, baik perempuan dan anak-anak, dalam setahun.
"Ini bukan soal tata krama, kami melihat dampaknya pada kesehatan," kata seorang pejabat kementerian yang terlibat dalam penyusunan undang-undang tersebut dan menolak disebutkan namanya.

"Pada dasarnya kami memperbolehkan orang-orang untuk tetap bebas, namun, situasinya tidak berubah," kata dia. "Perlu usaha lebih untuk menghadapi ini."

Kelihatannya, peraturan tersebut tidak akan diajukan di bawah masa jabatan parlemen saat ini. Periode menjabat mereka baru akan berakhir pada 18 Juni yang akan datang.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER