Qatar dan Tudingan Ekstremisme Tanpa Akhir

CNN Indonesia
Selasa, 06 Jun 2017 15:12 WIB
Qatar baru-baru ini dikucilkan oleh negara-negara Arab karena tudingan keterkaitan dengan ekstremisme. Sebenarnya, tudingan itu sudah berakar sejak lama.
Sebelum krisis diplomatik saat ini, Qatar juga sempat dikucilkan karena mendukung Mohammed Morsi, mantan presiden Mesir yang digulingkan dalam kudeta. (REUTERS/Amr Abdallah Dalsh)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah negara, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir, menarik duta besar mereka dan menghentikan penerbangan ke Qatar dalam krisis diplomatik yang memanas.

Qatar selama bertahun-tahun telah dituding terlalu longgar dalam pembatasan keuangan terhadap ekstremis di kawasan. Berikut adalah sejumlah tudingan utama kepada Doha, sebagaimana dirangkum AFP.

Ikhwanul Muslimin, Hamas, Taliban

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak kebangkitannya dalam politik internasional di akhir 1990-an, Qatar telah mendukung sejumlah kelompok Islamis di seluruh penjuru Arab, termasuk Ikhwanul Muslimin dan para sekutunya di Tunisia serta Libya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kerajaan kaya minyak itu pernah jadi pendukung utama mantan presiden Islamis Mesir, Mohammed Morsi. Hal ini memicu perselisihan diplomatik yang berujung pada pemanggilan duta besar oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain.
Hubungan diplomatik dipulihkan setelah Qatar bergeser ke sisi negara-negara Arab dalam mendukung penerus Morsi, Abdel Fattah al-Sisi.

Qatar masih menjadi rumah bagi sejumlah tokoh besar Ikhwanul Muslimin, gerakan yang diklasifikasi sebagai "organisasi teroris" oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Di antaranya adalah Youssef al-Qardawi, salah satu pemimpin spiritual gerakan Muslim tertua itu.

Khaled Meshaal, mantan pemimpin Hamas Palestina, pun berbasis di Qatar. Bahkan, Taliban Afghanistan juga mempunyai kantor di negara tersebut.

Dugaan Pendanaan

Qatar kerap dituding telalu santai dalam memberantas pendanaan pribadi untuk kelompok-kelompok ekstremis, meski tudingan itu selalu ditampik dengan tegas.

Pada 2009 lalu, surat diplomatik Amerika Serikat yang dibocorkan oleh WikiLeaks menyebut Qatar tidak kooperatif dengan Washington dalam memutus pendanaan kelompok ekstremis.

Pada 2015, sejumlah politikus Perancis mempertanyakan diplomasi Qatar menyusul serangan teror Charlie Hebdo. Duta Besar Qatar menyatakan sudah menjadi "asumsi biasa" bahwa Doha mendanai atau mendukung "teroris dan terorisme."
Pada 2016, Amerika Serikat kembali mencurigai kemauan dan kemampuan Qatar dalam menegakkan hukum terhadap pendanaan kelompok-kelompok yang sudah dimasukkan ke daftar teroris.

Surat elektronik yang dibocorkan ke publik menyebut Hillary Clinton, yang kala itu masih menjadi kandidat presiden AS, meyakini Qatar "menyediakan dukungan finansial dan logistik secara sembunyi-sembunyi" kepada kelompok teror ISIS.

Beberapa pekan setelahnya, Washington justru memuji "upaya positif" Qatar dalam memerangi ISIS dan menghentikan pendanaan jihadis.

Kebangkitan al-Jazeera

Didirikan lebih dari 20 tahun lalu oleh pemerintah Qatar, Al-Jazeera mempunyai hampir 80 kantor di seluruh dunia dan muncul sebagai suara gerakan Arab Spring 2011.

Namun, pengkritik al-Jazeera menyebut barisan editorial media tersebut terlalu berempati kepada Islamis dan kadang-kadang menjadi platform kepentingan diplomatik Qatar.

Al-Jazeera kerap diperdebatkan soal kedekatannya pada ekstremis. Bahkan pemimpin al-Qaidah yang sudah tewas, Osama bin Laden, menggunakan kanal tersebut untuk menyebarkan rekaman audio dan videonya ke seluruh dunia.
Arab Saudi telah menutup kantor al-Jazeera di Riyadh, Senin (5/6), beberapa jam setelah mengumumkan pemutusan hubungan diplomatiknya dengan Qatar.

Situs web al-Jazeera tidak bisa diakses oleh alamat IP Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sejak akhir Mei, menyusul skandal peretasan Qatar.

Pada April 2016, otoritas Irak menutup kantor al-Jazeera di Baghdad karena membuat laporan yang condong kepada ISIS dan merugikan mayoritas Syiah di Iraq.
Juga pada tahun itu, Abu Mohammed al-Jolani, pemimpin organisasi yang saat itu masih menjadi cabang al-Qaidah di Suriah, tampil di televisi untuk pertama kalinya dalam wawancara dengan al-Jazeera.

Jolani mengumumkan kelompok Front al-Nusra yang dia pimpin berubah menjadi Front Fateh al-Sham dan akan bersatu dengan kelompok-kelompok arus tengah lain di Suriah.

Pada 2014, tiga wartawan Al-Jazeera dipenjara di Mesir karena "memalsukan informasi" untuk menguntungkan Morsi, yang akhirnya digulingkan dalam kudeta pada Juli 2013.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER