Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Donald Trump memang sudah menandatangani sanksi baru terhadap Rusia yang diloloskan mutlak oleh Kongres, pekan lalu. Namun, kemauan orang nomor satu di Amerika Serikat untuk menjalankan sanksi tersebut masih dipertanyakan.
Dalam pernyataan terkait sanksi baru tersebut, presiden Partai Republik itu mengeluh karena merasa kewenangan konstitusionalnya membentuk kebijakan luar negeri telah dilanggar oleh Kongres. Menurutnya, sanksi itu lebih mencerminkan "preferensi" kongres alih-alih mandat hukum.
Harold Koh, profesor kajian hukum Yale yang menjabat sebagai penasihat hukum pemerintahan Barack Obama, mengatakan alasan konstitusional itu mungkin akan digunakan oleh Trump untuk tidak sepenuhnya mengimplementasikan sanksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pernyataan itu menandai area-area yang dipandang pemerintah bisa digunakan untuk mengimplementasikan sanksi itu secara setengah-setengah dengan alasan kekhawatiran konstitusional," ujarnya sebagaimana dikutip
Reuters, Kamis (3/8).
Petinggi Partai Demokrat di Dewan Perwakilan, Nancy Pelosi, mengatakan pernyataan Trump saat menandatangani sanksi itu "memicu pertanyaan serius soal kemauan pemerintahannya untuk menindaklanjuti."
Sementara juru bicara Partai Republik di Dewan Perwakilan, Paul Ryan, menyambut baik penandatanganan itu. Menurutnya, langkah tersebut akan "mengirimkan pesan kuat untuk lawan-lawan kita bahwa mereka mesti bertanggung jawab."
Di sisi lain, pakar kajian Rusia di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Olga Oliker, mengatakan penandatanganan sanksi itu menunjukkan kebijakan campur aduk dari pemerintahan Trump.
"Saya merasa ada beberapa kebijakan yang diimplementasikan sekaligus, dan kebijakan-kebijakan itu tidak cocok satu sama lain. Ini juga sama," ujarnya.
Kebijakan akomodasi dan konfrontasi terhadap Moskow, berikut perebutan pengaruh antara Kongres dan Presiden mengancam memperparah kebingungan di pemerintahan Trump. Hal ini bisa meningkatkan kemungkinan miskalkulasi antara kedua rival bersenjata nuklir itu.
"Saya rasa sangat tidak jelas apa yang dituju oleh pemerintah dalam menangani Rusia atau bagaimana cara mereka membuat strategi yang koheren untuk berurusan dengan Moskow," kata George Beebe, mantan direktur analisis Rusia di Badan Intelijen Pusat AS (CIA), dikutip
CNN.
"Saya rasa ada risiko yang sangat nyata bahwa kita bbisa masuk ke dalam pusaran eskalasi yang sulit dikendalikan oleh kedua negara," kata Beebe.
Sinyal campur aduk itu juga dapat dilihat dari pernyataan para pejabat pendamping Trump. Wakil Presiden Mike Pence yang tengah mengunjungi negara-negara Baltik mengatakan penandatanganan sanksi itu menunjukkan presiden "satu suara" dengan Rusia.
Walau demikian, Menteri Luar Negeri Rex Tillerson, seperti Trump, justru mengkritisi hal tersebut.
"Tindakan Kongres menjatuhkan sanksi itu, dan cara mereka melakukannya, baik Presiden maupun saya sendiri merasa sangat senang soal itu," kata Tillerson.
Trump tidak berdaya setelah Kongres menyetujui sanksi tersebut dengan perbandingan suara mutlak yang tidak bisa dijatuhi veto presidensial. Padahal, kursi legislatif AS saat ini dikuasai oleh partai pendukung Sang Presiden sendiri.
Langkah ini memicu balasan dari Presiden Rusia Vladimir Putin yang memaksa kantor perwakilan AS di negaranya untuk mengurangi 755 staf. Selain pengusiran tersebut, pemerintahannya juga menyita dua properti di dekat Moskow yang digunakan oleh sejumlah diplomat Amerika.
Trump berulang kali menyatakan dirinya ingin memperbaiki hubungan dengan Rusia. Keinginan itu terganjal oleh temuan badan-badan intelijen Paman Sam bahwa Kremlin mencampuri pemilu 2016 untuk memenangkan presiden dari Partai Republik itu atas rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.
Panel Kongres AS dan konsul khusus tengah menyelidiki dugaan tersebut. Moskow menampik tudingan itu dan Trump mengaku tim kampanyenya tidak pernah berkolusi dengan pemerintah Rusia.