Jakarta, CNN Indonesia -- Setidaknya 8.500 pengungsi tewas atau hilang saat berusaha menyeberangi Laut Mediteranian sejak kematian bocah asal Suriah berusia tiga tahun, Alan Kurdi.
Alan Kurdi tewas pada 2 September 2015 saat menyeberangi laut untuk melarikan diri dari Suriah ke Yunani. Foto bocah tak bernyawa itu yang tergeletak di tepi pantai telah memicu gelombang simpati dari warga dunia terhadap nasib para pengungsi terutama dari Suriah.
UNHCR, badan pengungsi dunia dari PBB mencatat setelah peristiwa tersebut, tepatnya sejak September 2016, sebanyak 4,337 orang diyakini tenggelam di laut saat hendak mencapai pantai-pantai Eropa.
Orang-orang itu kebanyakan adalah warga Libya yang hendak mencapai Italia, warga Turki yang menyeberang ke Yunani, atau dari Maroko menuju Spanyol. Selebihnya, UNHCR mencatat sekitar 4.185 orang tewas terhitung sejak 1 September 2015 hingga akhir Agustus 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
UNHCR mengeluarkan data itu untuk memperingati dua tahun peristiwa kematian Alan Kurdi.
Dilansir dari
theguardian, UNHCR menyatakan meski jumlah pengungsi yang tiba di Eropa telah menurun drastis sejak kematian Alan Kurdi namun perjalanan laut yang berbahaya terus memakan korban jiwa hingga ribuan orang pengungsi.
Upaya pembatasan dari rute Turki menuju Yunani berperan dalam mengurangi jumlah pengungsi yang datang ke Eropa, tetapi hal itu telah memicu ratusan orang untuk mempertaruhkan nyawa mereka dengan menyeberangi Selat Gibraltar dari Maroko menuju Spanyol menggunakan kapal-kapal yang tak layak.
UNHCR mendesak komunitas internasional bertindak guna mencegah traged-tragedi selanjutnya.
Dalam pernyataannya UNHCR menegaskan bahwa jika kondisi buruk di sejumlah negara seperti Suriah terus terjadi maka orang-orang akan tetap mempertaruhkan nyawa mereka untuk mencapai Eropa lewat jalur laut.
UNHCR juga mencatat dari 13.700 kasus anak-anak yang mencapai Italia lewat jalur laut selama tujuh bulan pertama tahun ini, 92 persennya dilakukan atas inisiatif sendiri.
"Itu membuat perjalanan mereka lebih membahayakan," demikian pernyataan UNHCR.