Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengadakan pertemuan untuk membahas situasi di Rakhine, Myanmar, di mana kekerasan militer terhadap minoritas Rohingya dilaporkan terus terjadi.
AFP melaporkan, pertemuan itu akan digelar pada Kamis (28/9) atas permintaan Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat, juga empat negara anggota tidak tetap DK PBB, yaitu Mesir, Kazakhstan, Senegal, dan Swedia.
Sebelum pertemuan ini diadakan, DK PBB juga akan mendengarkan perkembangan situasi di Rakhine dalam sebuah sesi terbuka pada hari ini, Selasa (26/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan ini diambil setelah Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengirimkan surat langka berisi kekhawatirannya akan "bencana kemanusiaan" di Myanmar yang mengancam perdamaian dan keamanan hingga melintasi perbatasan negara itu.
PBB sendiri menyatakan bahwa operasi militer di Rakhine yang telah menewaskan sekitar 1.000 orang sejak 25 Agustus lalu sebagai upaya "pembersihan etnis."
Presiden Perancis, Emmanuel Macron, pun menyebut bentrokan yang membuat ratusan ribu orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh ini sebagai "genosida."
Selama ini, Rohingya memang menjadi korban kekerasan dan diskriminasi di Myanmar. Hidup berpuluh tahun dari generasi ke generasi di Myanmar, mereka tak pernah mendapatkan hak kewarganegaraan.
Dunia sempat menaruh harapan pada Aung San Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian yang akhirnya menyandang gelar sebagai pemimpin defacto Myanmar. Namun ternyata, kekerasan dan diskriminasi terhadap Rohingya masih terus terjadi.
[Gambas:Video CNN]Meski demikian, pemerintah Myanmar terus menyangkal dan menutup akses bagi tim pencari fakta PBB menjuju Rakhine.
Penasihat Keamanan Nasional Myanmar, Thaung Tun, bahkan mengaku bernegosiasi dengan China dan Rusia agar memblokir semua upaya DK PBB yang bermaksud mengkritik kekerasan terhadap Rohingya di Rakhine.
"Kami bernegosiasi dengan sejumlah negara sahabat agar tidak membahasnya di Dewan Keamanan. China adalah teman kami dan kami memiliki pertemanan yang sama dengan Rusia, jadi tidak mungkin isu ini berlanjut," ujar Tun, sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (6/9).
(has)