Jakarta, CNN Indonesia -- Krisis kemanusiaan yang menerpa etnis minoritas Muslim Rohingya hingga kini terus menyulut perhatian dunia internasional. Sorotan itu terutama tertuju pada pemerintah Myanmar, terutama Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin de facto negara itu.
Sekitar 1.000 orang terutama Rohingya disebut tewas sejak bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar kembali pecah di negara bagian Rakhine, akhir Agustus lalu. Suu Kyi, sang peraih Nobel perdamaian, lagi-lagi dianggap gagal melindungi warga negaranya sendiri karena tak berbuat banyak untuk menyudahi kekerasan tersebut.
Meski tak kunjung diberi akses menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat di Myanmar, tim pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memulai tugasnya sejak akhir Agustus lalu untuk mencari penjelasan atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di negara Asia Tenggara itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua TPF PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman, menganggap satu-satunya solusi krisis terletak pada sikap Myanmar sendiri, khususnya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan konflik secara inklusif.
“[Solusi] terpulang pada sikap Myanmar sendiri. [Penyelesaian isu Rohingya] sudah disampaikan Suu Kyi, meski belum benar-benar jelas, dengan menyatakan akan menerima kembali pengungsi dengan syarat verifikasi dalam pidato terakhirnya. Tapi yang terpenting adalah kemauan poltik dari pemerintah untuk menerima mereka kembali,” tutur Marzuki dalam wawancara eksklusif bersama
CNNIndonesia.com pada Kamis (28/9).
Marzuki mengatakan sayupnya suara Suu Kyi terkait krisis Rohingya tak lepas dari keadaan politik Myanmar, di mana kewenangan pemerintah sipil masih didominasi militer meski reformasi telah berlangsung sejak 2011 lalu.
Merdeka sejak 1948, Myanmar tak langsung menjadi negara demokrasi. Selama 49 tahun sejak 1962, negara itu sempat berada di bawah kontrol pemerintah junta militer. Transisi politik baru terjadi pada 2011 saat militer Myanmar akhirnya bersedia mengalihkan sebagian kekuasannya dan membentuk pemerintahan sipil.
Meski pemilu November 2015 lalu dimenangkan oleh Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), nyatanya militer saat ini masih menguasai 25 persen kursi parlemen.
[Gambas:Video CNN]“Pemerintahan Myamar masih didominasi oleh militer. Karena itu Suu Kyi sebenarnya masih terbatas kewenangannya. Walaupun [Suu Kyi] sudah memenangkan pemilu dan menjadi partai yang berkuasa, kekuasaan efektif tidak demikan adanya,” ucap Marzuki.
“Walau bagaimana pun, cerminan demokrasi Myanmar itu masih tetap ada pada Suu Kyi. Saya hanya bisa bayangkan pergolakan dalam dirinya [Suu Kyi] untuk bisa pertemukan kontradiksi ini."
Menurut Marzuki, perlu diplomasi khusus dari komunitas internasional agar dapat menggiring Myanmar untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan itu secara inklusif.
Mantan ketua Komisi Nasional HAM RI ini juga mengatakan tekanan, kritik, dan sorotan internasional senantiasa dipertahankan guna menyadarkan Naypyidaw bahwa krisis kemanusiaan di sana tidak bisa dianggap sebagai masalah domestik Myanmar.
“Dan di sini, diplomasi Indonesia istimewa karena masih menjadi satu-satunya pemerintah yang dipercaya Myanmar untuk menjembatani mereka dengan dunia internasional. Harapannya, diplomasi dan bantuan RI selama ini bisa mendorong Myanmar menjadi lebih terbuka lagi untuk berinteraksi dengan dunia internasional dalam penyelesaian krisis kemanusiaan tersebut,” paparnya.
Sanksi untuk MyanmarSejumlah negara barat seperti Amerika Serikat mulai bersikap tegas menanggapi krisis kemanusiaan di Myanmar yang dinilai kian mengkhawatirkan.
Dalam sidang DK PBB pekan lalu, AS mengusulkan seluruh negara menyetop penjualan dan pemberian senjata kepada Myanmar sampai ada pertanggung jawaban memadai terkait konflik di Rakhine.
 Marzuki Darusman di CNNIndonesia.com. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Sejumlah pihak bahkan mengajukan penjatuhan sanksi internasional bagi Myanmar yang dianggap membiarkan kekerasan menerpa warga negaranya sendiri. Namun, Marzuki menilai sanksi ekonomi merupakan senjata terakhir jika Naypyidaw masih enggan menghentikan kekerasan dan menyelesaikan krisis secara inklusif.
Selain itu, dia juga mengatakan, pemerintah Myanmar tidak serta-merta bisa dituntut jika kesimpulan TPF nanti membenarkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di negara itu.
“Pertanggung jawaban pertama-tama dilakukan tentu oleh pemerintah yang bersangkutan. Kalau ditemukan pelanggaran HAM, masalah ini akan diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintahnya sendiri. Ini dimungkinkan,” papar eks Jaksa Agung 1999-2001 itu.
“Pegangan ada pada pemerintah terkait yang pertama-tama harus bertanggung jawab. Kalau masih tidak bisa menyelesaikan krisis, baru dunia kembali mempersoalkan ini.”
Lebih lanjut, Marzuki mengatakan, kesimpulan mengenai dugaan pelanggaran HAM berat di Myanmar akan sangat bergantung pada penyelidikan TPF selama setahun ini.
Meski begitu, dia menuturkan mandat timnya dalam krisis ini bukan untuk mencari bukti pelanggaran HAM, tetapi untuk mencari fakta yang bisa menjelaskan situasi yang terjadi di Rakhine dan Myanmar secara menyeluruh.
Setelah kesimpulan didapat, lanjutnya, baru TPF bisa menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan tersebut.
“Kesimpulan TPF lalu akan diajukan ke Dewan HAM PBB (OHCHR) untuk selanjutnya ditindaklanjuti secara hukum. Dewan HAM PBB yang akan memutuskan apakah kesimpulan itu akan dilanjutkan kepada Dewan Keamanan PBB dan diteruskan ke Mahkamah Pidana International (ICC) atau tidak,” ucap mantan Ketua Komnas HAM tersebut.