Jakarta, CNN Indonesia -- Tiga dari enam anak bekas petinggi ISIS di Marawi, Mindanao, Filipina Selatan memiliki kewarganegaraan ganda. Mereka adalah putra-putri dari mendiang
Omarkhayam Maute yang menikahi
Minhati Madrais warga Indonesia (WNI) asal Bekasi.
“Tim dari Konsulat Jenderal RI Davao hingga saat ini masih berada di lokasi penahanan Minhati Madrais di Iliigan City untuk memastikan anak-anak tersebut mendapatkan perlakuan yang layak selama ibunya menjalani proses hukum,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal Songell kapada wartawan di Bogor, Sabtu (11/11).
Minhati Madrais, istri Omarkhayam Maute, petinggi ISIS yang sempat menguasai Kota Marawi sebelum akhirnya ditembak mati, dilaporkan ditangkap oleh aparat penegak hukum Filipina pada 5 November 2017 di Kota Ilagan, Mindanao Utara. Dia dituduh melanggar undang-undang nomor 9516 tentang kepemilikan, pembuatan, penguasaan senjata, amunisi dan bahan peledak.
Minhati Madrais ditangkap bersama enam orang anaknya, salah satunya masih bayi, yang lahir pada Januari 2017. Enam anak itu terdiri atas empat anak perempuan dan dua anak laki-laki. Anak tertua lahir di Mesir pada 2005. Tiga dari enam anak itu memegang paspor ganda, Indonesia dan Filipina. Dua lagi memiliki paspor Indonesia. Adapun si bungsu yang lahir pada Januari lalu, belum memiliki paspor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihak KJRI Davao telah menyelesaikan proses identifikasi biometrik wajah dan sidik jari Minhati Madrais, Jumat (10/11) lalu. Proses identifikasi itu dilakukan untuk memastikan status kewarganegaraan Minhati, mengingat paspornya telah berakhir masa berlakunya pada Januari 2017.
“Hasil identifikasi menunjukkan kesamaan data dengan data paspor Minhati Madrais yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Karawang pada Januari 2012,” kata Iqbal.
Pasangan Minhati Madrais dan Omarkhayam Maute menikah di Mesir. Pada 2009, sekembalinya dari Mesir, mereka sempat mengajar di Bekasi sebelum ke Filipina pada 2012.
Omarkhayam adalah salah satu dari pemimpin miilisi Maute yang menyerang Kota Marawi pada Mei 2017. Penyerangan itu dilakukan setelah tersiar kabar bahwa militer Filipina mengincar pemimpin Abu Sayyaf, Isnilon Toton Hapilon di Kota Marawi.
Akibat serbuan itu ratusan ribu warga Kota Marawi mengungsi. Sekitar seribu orang meninggal dunia sebelum Presiden Rodrigo Roa Duterte akhirnya mengumumkan pembebasan Kota Marawi pada akhir Oktober lalu. Omarkhayam dan kakaknya, Abdullah, para pemimpin Maute serta pemimpin Abu Sayyaf sekaligus bekas emir ISIS di Filipina, Isnilon Toton Hapilon dikabarkan tewas.
(nat)