Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia melalui
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta Filipina mempermudah pemberian izin tinggal bagi 2.425 keturunan WNI yang telah berpuluh tahun tinggal di selatan negara itu.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan permintaan itu diutarakan Retno kepada Presiden Rodrigo Duterte saat berkunjung ke Manila awal pekan lalu.
Izin tinggal tersebut diajukan setelah ribuan keturunan WNI itu mendapat surat penegasan kewarganegaraan serta paspor RI yang secara simbolis juga diberikan langsung oleh Retno di Kota Davao.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ibu Menlu langsung angkat isu ini dengan Presiden Duterte beberapa waktu lalu, agar pemberian izin tinggal dipercepat karena negosiasi ini sudah berlangsung lama dan panjang. Namun, kami sangat bersyukur karena sikap Filipina yang sangat kooperatif yang mau membantu,” kata Iqbal di Kemlu RI, Senin (8/1).
Ribuan keturuan Indonesia ini kerap disebut warga lokal Filipina sebagai Suku Sangir. Badan Pengungsi PBB (UNHCR) menyebut mereka sebagai Persons of Indonesian Descent (PID), yang menurut sejarah telah hijrah ke Filipina Selatan dari Sulawesi Utara sejak puluhan tahun lalu sebelum konsep negara terbentuk.
Para PID itu dikabarkan bermigrasi ke Filipina Selatan sejak nenek moyang mereka, yang kala itu berprofesi sebagai pelaut dan nelayan yang kerap menjelajahi Laut Sulawesi dan Laut Sulu.
Pemberian paspor ini dilakukan pemerintah sebagai bentuk peningkatan perlindungan WNI di luar negeri, karena para PID tersebut selama ini tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan identitas apapun, baik dari Filipina maupun Indonesia.
Konsulat Jenderal RI di Davao City bersama dengan otoritas Filipina dan UNHCR mendata ada sebanyak 8.745 PID yang tersebar di delapan provinsi di Filipina Selatan dan 2.425 di antaranya telah diberikan Surat penegasan Kewarganegaraan Indonesia (SPKI).
“Surat SPKI ini menjadi esensi utama bisa diberikannya status WNI dan paspor RI. Pemberian SPKI ini berdasarkan sejumlah syarat yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI,” ujar Iqbal.
Iqbal mengatakan meski ribuan PID itu telah mendapat SPKI namun belum seluruhnya mendapatkan paspor. “Diharapkan pencetakan dan pemberian paspor bisa selesai secepatnya tahun ini,” lanjutnya.
Saat ini, kata Iqbal, pemerintah tengah berfokus membantu ribuan PID tersebut mengurusi izin tinggal di Filipina. Karena itu, paparnya, ada sebagian paspor yang telah diberikan kepada para keturuan WNI kemarin kembali ditarik lagi.
“Prinsipnya kami sudah berikan paspor tapi kami ambil lagi karena untuk membantu mereka mengajukan izin tinggal secara kolektif. Kalau mereka mengajukan sendiri-sendiri akan kesulitan. Tapi kami telah memberikan fotokopi paspor kepada mereka sebagai pegangan selama [izin] diurus,” tutur Iqbal.
“
So far pengajuan izin tinggal tidak dikenakan biaya. KBRI dan KJRI membantu pengajuan izin tinggal supaya para PID yang tinggal di pelosok kesulitan uang dan transportasi masih bisa mengurusi izin tinggal ini,” lanjutnya.
Menurut Iqbal, kasus keturunan Indonesia tanpa status kewarganegaraan ini hanya terjadi di selatan Filipina. Sejarah perbatasan dan imigrasi menjadi salah satu pendorong munculnya kasus ini.
“Paling banyak PID di Filipina selatan dan ini sudah masuk agenda pembahasan tingkat kepala pemerintahan dari puluhan tahun lalu, tapi saat itu kami belum temukan langkah konkret. Baru pada 2011 ada kemauan pemerintah untuk mulai menentukan status mereka. Begitu akhir 2014 ketika perlindungan WNI jadi prioritas, bu Menlu perintahkan lakukan percepatan penyelesaian status mereka.”
(nat)