Jakarta, CNN Indonesia -- Berderai air mata,
Wan Azizah Wan Ismail mengumumkan calon perdana menteri untuk koalisi oposisi pimpinannya,
Mahathir Mohamad, diktator terlama Malaysia yang pernah memecat suaminya, Anwar Ibrahim, dari posisi orang nomor dua di negara itu.
Belum selesai nama panjang Mahathir disebutkan, gemuruh teriakan pendukung langsung menyambar, mengalahkan suara gemetar Wan Azizah.
Momen haru itu disebut-sebut sebagai tonggak awal sejarah bersatunya rival bebuyutan demi melawan satu musuh bersama,
Najib Razak, perdana menteri berkuasa yang selama beberapa tahun belakangan diterpa berbagai skandal, termasuk korupsi besar-besaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persatuan kubu sang Bapak Pembangunan Malaysia dan tokoh pejuang reformasi Negeri Jiran ini membuat oposisi terkesan kokoh dalam pemilihan umum Malaysia 2018.
Semangat oposisi kian bergelora mengingat hasil pemilu 2013 lalu, ketika oposisi, yang biasa disebut kubu pembangkang, meraup total suara terbanyak.
Meski tak berhasil mendapatkan mayoritas kursi parlemen sehingga gagal menggulingkan rezim koalisi berkuasa, Barisan Nasional (BN), kepercayaan diri oposisi bangkit.
Dari luar, oposisi memang terlihat kokoh. Namun, ranting-ranting partai koalisi oposisi sebenarnya mulai rapuh, terutama sejak Anwar Ibrahim sebagai akar kekuatan mereka kembali dibui pada 2015.
Selain penarikan diri Partai Islam Malaysia (PAS) dari koalisi, perpecahan internal partai antara kubu Wan Azizah dan Rafizi Ramli membuat suara oposisi terpecah.
"Pada 2018, gelombang dukungan tak akan sekuat dua pemilu karena sudah ada perpecahan dari koalisi aslinya, hilangnya figur pemersatu koalisi, dan ketidakpedulian masyarakat terhadap politik," kata kepala operasi Institut Hubungan Demokrasi dan Ekonomi, Tricia Yeoh, dalam kolomnya di
Channel NewsAsia.
Tak hanya itu, oposisi juga masih harus menghadapi berbagai jurus Najib untuk melumpuhkan mereka, mulai dari meresmikan undang-undang anti-hoaks hingga mengubah aturan mengenai pemetaan suara dan perolehan kursi parlemen.
Di bawah aturan ini, pemerintah menyatukan daerah pendukung oposisi ke dalam satu konstituen, sehingga kubu lawan pemerintah hanya akan mendapatkan satu kursi parlemen meski suara yang dihimpun lebih banyak.
Survei Merdeka Center terbaru pun menunjukkan bahwa hasil pemilu kali ini tak akan jauh berbeda dari sebelumnya. Oposisi memenangkan suara populer, tapi tak mendapatkan cukup kursi parlemen untuk membentuk pemerintahan.
Seorang profesor sosiologi dan antropologi dari Universitas New South Wales, Clive Kessler, mengatakan bahwa jika kemenangan berkat sistem yang tidak adil ini berulang dalam pemilu kali ini, kepercayaan masyarakat pada Najib akan semakin turun.
"Pada akhirnya, hasil pemilu sudah bisa ditebak: kemenangan UMNO dan koalisi Barisan Nasional. Namun, ini akan membuat legitimasi dan otoritas politik Najib dan partainya semakin kecil," tulis Kessler dalam kolomnya di
East Asia Forum.
Jika kepercayaan rakyat terus turun, bukan tidak mungkin pada satu titik oposisi akan menang.
Namun, koordinator pemantau dan dokumentasi lembaga non pemerintah Suara, Chew Chuan Yang, mengatakan bahwa jika oposisi menang, mungkin mereka hanya akan berkuasa sebentar karena warga akan sadar para penguasa tak punya program yang jelas.
"Jika, andai saja, oposisi mendapatkan suara yang cukup untuk memenangkan pemilu selanjutnya, saya pikir mereka hanya akan memerintah sekitar dua tahun sebelum mereka benar-benar digulingkan," tutur Chew kepada
The Diplomat.
Meski demikian, menurut Chew, kemenangan oposisi akan sangat penting untuk mengubah pola pikir warga Malaysia.
"Ada perubahan, rakyat akan mengetahui bahwa pemerintah tidak mutlak, dapat berganti, dan akan berganti. Gagasan semacam itu harus ada di dalam benak warga Malaysia," katanya.
(has)