Jakarta, CNN Indonesia -- Perang di
Timur Tengah serta konflik internal di belahan Afrika dan Asia ternyata menuai masalah baru bagi dunia. Perang tak berujung memaksa jutaan orang di negara berkonflik melarikan diri dari kampung halamannya hingga memicu fenomena eksodus
pengungsi-orang-orang yang lari dari negara asal karena alasan keamanan untuk mencari perlindungan di negara lain, termasuk Indonesia.
Salah satunya, Naser Ahmad Baqiri. Dia bersama istri dan tiga anaknya lari dari Afghanistan karena alasan keamanan hingga terdampar di Indonesia, tepatnya Jakarta.
Tujuannya bukan lah Indonesia, tapi Australia. Namun, karena proses penempatan ke negara ketiga oleh badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) tidak menentu, Naser dan keluarga terancam terdampar di Indonesia hingga setahun, belasan tahun, bahkan tidak sama sekali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sudah 30 bulan berada di Indonesia. Saya harus lari dari Afghanistan karena Taliban mengincar dan membunuh kaum Hazara. Ayah dan saudara saya dibunuh Taliban karena kami orang Hazara. Karena itu kami harus pergi dari Afghanistan," ucap Naser saat ditemui
CNNIndonesia.com di tenda seadanya di depan Rumah Detensi Imigrasi DKI Jakarta, Kalideres.
Berharap terima bantuan, Naser hingga masih terluntang lantung di jalanan. Meski dia dan keluarga telah terdaftar sebagai pengungsi di UNHCR, mereka tak bisa begitu saja ditampung pemerintah Indonesia, apalagi ditempatkan ke negara ketiga.
"UNHCR malah meminta kami pulang ke Afghanistan. Mereka bilang pulang atau rela tinggal di sini 15 sampai 20 tahun karena mereka tak bisa menempatkan kami ke negara ketiga. Peluangnya hanya 1 persen dari seluruh pengungsi yang ada," papar pria 28 tahun itu.
Saat ini UNHCR mencatat ada 22,5 juta pengungsi di dunia, terbesar sejak Perang Dunia II. Meski tak ikut berkonflik apalagi berperang, Indonesia kena imbasnya. Sebanyak 13.840 orang dari puluhan juta pengungsi itu berada di Tanah Air.
Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, mengatakan Indonesia sebenarnya tak memiliki tanggung jawab apa pun soal penanganan pengungsi karena tidak meratifikasi Konvensi Internasional 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967.
Namun, karena alasan kemanusiaan, Achsanul mengatakan pemerintah tetap berkomitmen membantu dan menerima sementara para pengungsi yang terdampar di wilayah Indonesia.
"Pendekatan Indonesia dalam penanganan pengungsi adalah kemanusiaan. Kita tidak melihat asal mereka, jika ada yang terdampar pasti kami tolong. Contohnya pada 2015 lalu saat gelombang pengungsi Rohingya dari Myanmar terdampar di Aceh, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang langsung turun tangan dan perintahkan selamatkan mereka atas dasar kemanusiaan," kata Achsanul.
Meski hingga kini Indonesia belum menunjukkan niat meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Achsanul mengatakan negara sudah memberikan kontribusi di luar tanggung jawabnya. Salah satunya, menerima hingga menampung para pengungsi untuk sementara waktu sampai solusi jangka panjang diputuskan UNHCR.
Indonesia, paparnya, bahkan mengeluarkan Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 soal Penanganan Pengungsi Luar Negeri. Aturan itu, menurut Achsanul, menegaskan Indonesia tetap berkomitmen membantu menangani masalah pengungsi di kawasan terlepas dari negara pihak Konvensi 1951 atau tidak.
"Tanpa meratifikasi atau jadi anggota konvensi-konvensi tersebut, Indonesia sudah melakukan kewajiban menolong pengungsi. Malah, negara anggota Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tidak melakukan tanggung jawab dan kewajiban yang seharusnya," kata Achsanul tanpa menyebut negara yang dimaksud.
Kepala Misi UNHCR untuk Indonesia, Thomas Vargas, berpendapat serupa. Menurutnya, Indonesia selama ini telah menunjukkan semangat kemanusiaannya lebih dari kewajibannya dengan menerima 13.840 pengungsi.
Vargas juga mengatakan Perpres No.125 Tahun 2016 semakin menegaskan komitmen Indonesia untuk melindungi pengungsi sampai solusi jangka panjang bisa ditemukan mereka.
"Sikap positif seperti ini hanya di miliki sedikit negara, apalagi Indonesia punya hukum nasional khusus menangani masalah pengungsi. Ini menandakan pemerintah peduli dan bertanggung jawab," kata Vargas.
"Namun, kami tetap berharap bisa melihat Indonesia berbuat lebih seperti menciptakan peluang yang lebih besar lag bagi para pengungsi untuk mencari penghidupan sendiri, apalagi bisa mulai menerima mereka di sini, komunitas internasional akan menyambut baik niat baik tersebut," lanjutnya.
Serba SalahDosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, melihat posisi Indonesia dilematis dalam hal penanganan pengungsi. Melihat situasi politik dan kondisi ekonomi saat ini, Teuku menilai belum saatnya bagi Indonesia meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.
Menurutnya, penanganan pengungsi malah bisa menjadi bumerang bagi pemerintah jika salah melangkah. Teuku berharap pemerintah tidak buru-buru meratifikasi sebelum benar-benar mengerti konsekuensi dan tanggung jawab sebagai negara anggota terkait penanganan pengungsi.
"Menurut saya, dengan kondisi politik dan keuangan dalam negeri saat ini yang tersedot pada sektor infrastruktur, pemerintah tidak bisa paksakan diri untuk ratifikasi konvensi pengungsi. Ini malah akan menambah komplikasi dalam negeri. Gelombang pengungsi ke Indonesia tetap membutuhkan dana negara meski akhirnya ditanggung UNHCR dan orgnanisasi internasional lain," kata Teuku saat dihubungi
CNNIndonesia.com."Ini akan ciptakan gejolak dalam negeri sendiri, terutama di daerah tempat pengungsi berlabuh. Masyarakat lokal merasa hidup mereka masih susah tapi pemerintah malah memberi perhatian lebih kepada orang-orang yang kasarnya bukan tanggung jawab negara. Jadi serba salah," lanjutnya.
 Foto: CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama Pengungsi di Rudenim Kalideres |
Teuku menganggap satu-satunya jalan keluar Indonesia adalah terus berdialog dengan negara asal pengungsi seperti Afghanistan, Suriah, dan Somalia untuk membantu menyelesaikan akar masalah, menyetop konflik hingga perang yang memicu gelombang pengungsi.
Jika perlu, Teuku mengatakan Indonesia bisa menggandeng ASEAN untuk terus berdiplomasi mempromosikan perdamaian dan penyelesaian konflik di kawasan. Contoh terbaik, paparnya, telah dipraktikan Indonesia dalam merespons pengungsi dan krisis di Myanmar.
"Kepada Myanmar, Indonesia tidak memaksa atau menggurui, tapi jusru berdialog dan bertukar pengalaman. Indonesia harus bisa berdialog dengan negara penyumbang pengungsi bahwa kita adalah korban dari konflik mereka," papar Teuku.
"Presiden hendaknya menggunakan otoritasnya agar lebih proaktif menegaskan kepada negara-negara berkonflik untuk segera menuntaskan masalah mereka. Jika tidak, Indonesia akan terus kedatangan pengungsi yang tidak sedikit menetap hingga bertahun-tahun di sini tanpa kepastian. Jika berlanjut ini akan berubah menjadi masalah keamanan yang serius mulai dari imigran gelap hingga kriminalitas," lanjutnya.
(nat)