Jakarta, CNN Indonesia --
Indonesia termasuk bukan negara penandatangan Konvensi Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (
PBB) 1951. Tetapi Indonesia tetapi Indonesia tidak luput dari aliran pengungsi. Sedikitnya terdapat 18.384 pengungsi yang hingga kini masih terdampar di Indonesia. Meski begitu, bukan berarti pengungsi tidak ditangani.
"Indonesia pendekatannya kemanusiaan. Kita tidak melihat kewarganegaraannya, atau alasannya kenapa, Indonesia pasti menolong," kata Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri, Achsanul Habib kepada
CNNIndonesia.com, beberapa waktu yang lalu.
Prinsip itu pula yang digunakan Indonesia saat menyelamatkan pengungsi Rohingya yang masuk ke Aceh pada 2015. "Kita tidak bisa membiarkan ibu hamil dan bayi terluntang-lantung di laut. Posisi Indonesia, menyelamatkan atas dasar kemanusiaan," tegas Habib.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prinsip itu pula yang menyebabkan Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) menempatkan Indonesia sebagai negara yang dihormati. Kepala UNHCR di Jakarta, Thomas Vargas, pun saat diwawancara
CNNIndonesia.com berulang kali menyatakan terima kasih dan apresiasi kepada pemerintah Indonesia.
"Kontribusi kita ke UNHCR sangat signifikan sehingga mereka memahami Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB. Tanpa meratifikasi pun mereka mengakui bahwa Indonesia telah memberikan sumbangsih dalam penanganan pengungsi," kata Habib.
"Mereka selalu bilang Indonesia adalah contoh yang baik, karena meskipun bukan negara pihak tetapi kita tetap berkontribusi dan melaksanakan, sedikitnya ketika ada kesusahan, kita tidak tutup mata," kata Habib. "Kita
dari mandat kita," kata mantan diplomat RI untuk Markas PBB di New York tersebut.
Hubungan baik itu juga terjaga dengan Organisasi Migrasi Internasional (IOM). Sepuluh tahun yang lalu, Indonesia bahkan menjadi negara terbesar kedua dalam operasi IOM, karena menjadi arus pengungsi seperti dari Afghanistan, Rohingya, maupun dari Sri Lanka. Baik dari jumlah anggaran dengan personelnya.
Pada saat itu pula, Habib memandang bahwa banyak negara-negara pihak tidak melakukan kewajibannya. "Penyumbang dana terbesar, tapi mereka ingkat dari kewajiban sebagai anggota. Itu yang menjadi titik lemah dari IOM," kata Habib.
Menurut Habib, kini pekerjaan rumahnya adalah bagaimana Indonesia menyikapi gelombang pengungsi. Sebagai bukan negara pihak dalam Konvensi Pengungsi PBB 1951. Selama ini Indonesia telah bekerja sama baik dengan UNHCR, IOM maupun Palang Merah Internasional (ICRC).
"Masalahnya sampai kapan keberlangsungan sistem seperti ini bisa bertahan. Karena pendanaan UNHCR, IOM dan ICRC berasal dari negara donor. Kalau negara-negara dengan tren saat ini semakin protektif dimana kontribusi mereka yang tradisional saja bisa dikurangi dengan berbagai alasan," kata Habib merujuk pemotongan dana yang dilakukan Amerika Serikat baru-baru ini.
Meski begitu, menurut Habib, komitmen pemerintah Indonesia tidak akan berubah. "Perlindungan dan pertolongan manusia adalah yang utama. Kita selamatkan dulu," kata Habib.
Saat masalah pengungsi bukan menjadi masalah Indonesia saja. Melainkan di seluruh dunia. "Saat ini terus dibahan perkembangannya, bagaimana penanganan pengungsi ke depannya.Sedang dilakukan pembahasan yang akan menjadi panduan yakni dalam Global Compact on Refugees," kata Habib. "Karena selain Konvensi Pengungsi PBB 1951, kita tidak punya pedoman menangani pengungsi saat ini, belum lagi sejumlah tantangan baru. Ini yang sedang dibahas," kata Habib.
(nat)