Jakarta, CNN Indonesia -- Sumiyati binti Muhammad Amin dan Masani binti Syamsuddin Umar, dua warga Indonesia asal Sumbawa, NTB, lolos dari hukuman mati setelah pengadilan banding
Arab Saudi menolak tuntutan qisas terhadap keduanya.
"Kita akan memulangkan dua WNI yang lolos dari hukuman mati, rencananya akan mendarat Rabu (6/6)," kata Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel kepada
CNNIndonesia.com, Senin (4/60).
Sumiyati dan Masani berasal dari Desa Kalimango, Kecamatan Alas Timur, Kabupaten Sumbawa, NTB. Mereka dijadwalkan mendarat di Jakarta pada Rabu, 15.40 dengan pesawat Emirates EK-356.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keduanya ditangkap aparat kepolisian Saudi pada 27 Desember 2014. Mereka dituduh bersekongkol melakukan sihir atau santet sehingga anak majikan menderita sakit permanen.
Mereka juga dinyatakan bersalah membunuh ibu majikan, Hidayah binti Hadijan Mudfa al-Otaibi yang menderita diabetes dengan cairan lain dicampur insulin sehingga meninggal.
KBRI Riyadh melakukan pendampingan intensif bagi kedua WNI dalam menjalani proses hukum di persidangan dan secara rutin melakukan kunjungan penjara.
Pada sidang kesepuluh 29 Februari 2016, Pengadilan Pidana Kota Dawadmi menjatuhkan hukuman ta'zir (cambuk) bagi keduanya. Selain itu, Sumiyati dijatuhi hukuman 1,5 tahun dan Masani 1 tahun, berdasarkan pengakuan kedua WNI saat penyidikan.
Namun pada sidang 10 Agustus 2017, pengadilan menolak tuntutan qisas kepada kedua WNI dengan alasan salah seorang ahli waris, Sihhaj Al Otaibi mencabut tuntutan tanpa menuntut kompensasi apapun.
Menurut Dubes Abegebriel yang juga dosen Hadits Hukum di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sebuah tuntutan qisas harus dilakukan secara konsensus di antara para ahli waris korban dan tidak boleh ada pertentangan opini.
"Apabila salah satu anggota keluarga mencabut maka tuntutan tersebut menjadi gugur," kata Abegebriel. "Itu ada di ketentuan yang sangat dikenal dalam 'al-Tasyri' al-Jina'iy atau hukum pidana Islam."
Akibat keputusan pengadilan yang menolak qisas, anggota keluarga lain yang dimotori Fahad Al-Otaibi berkeras mengajukan banding. Namun, pengadilan banding pada akhir 2017 menguatkan keputusan Pengadilan Pidana Dawadmi atas kedua WNI yang masih bersaudara ini.
Berangkat dari putusan yang berkekuatan hukum tetap, KBRI melanjutkan proses pencabutan tindakan pencegahan kedua WNI keluar dari Arab dan pengajuan proses izin keluar dari kantor imigrasi.
Dalam rilis dari KBRI Riyadh yang diterima CNNIndonesia.com, keduanya dengan suara terbata-bata mengucapkan terimakasih kepada Presiden Joko Widodo. Jokowi menugaskan seorang duta besar dan sejumlah diplomat KBRI Riyadh terkait masalah WNI terjerat hukum di Arab Saudi.
Sumiyati dan Masani menyampaikan hal tersebut di acara buka bersama sekaligus pamitan perpisahan KBRI Riyadh dan 300 WNI di Aula KBRI Riyadh, Jumat (1/6) pekan lalu.
Dubes Abegebriel menjelaskan bahwa kepulangan dua WNI ini akan didampingi langsung oleh Atase Hukum KBRI Riyadh, Muhibuddin Thaib, seorang jaksa karir dari Kejaksaan Agung yang pernah bertugas di KPK.
Dubes Abegebriel yang menyebut Muhibuddin sebagai 'diplomat santri' asal Aceh, mengapresiasi atase hukum yang sangat memahami hukum pidana Islam sehingga proses pendampingan WNI yang sedang terdera masalah hukum di Saudi bisa tertangani secara komprehensif.
"Dan ke depan perlu adanya penguatan para diplomat ahli hukum pidana Islam untuk pendampingan masalah-masalah hukum yang banyak menimpa ekspatriat Indonesia di Arab Saudi ini," kata Abegebriel.
Sebagai bentuk ekspresi kebahagiaan dan pemihakan KBRI kepada saudara-saudara sebangsanya, Dubes Maftuh sendiri mengeluarkan tiket dan memilihkan kursi untuk Sumiyati dan Masani di deretan depan dengan nomor kursi 10A dan 10B.
Berkaca dari kasus hukum kedua WNI tersebut, penanganan permasalah hukum WNI khususnya kasus hukuman mati akan sangat efektif apabila sejak awal proses penyidikan kasusnya dapat dilacak. Karena itu dibutuhkan sikap proaktif para Garda Depan Diplomasi.
"Dan disamping pendampingan hukum, ada yang sangat penting untuk dilakukan yaitu melakukan diplomasi antropologis dengan pendekatan terhadap tokoh-tokoh kabilah/suku untuk mencari solusi seperti yang sudah dilakukan oleh KBRI Riyadh dengan melakukan lobi-lobi tengah malam di kawasan pedalaman Saudi dan bahkan pertemuan-pertemuan informal di tengah-tengah peternakan kambing" kata Dubes yang juga peneliti terorisme tersebut.
(aal)