Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Jenderal Nahdlatul Ulama
Yahya Cholil Staquf bertemu Perdana Menteri Israel
Benjamin Netanyahu di Yerusalem, Kamis (14/6).
Yahya Staquf yang sedang berkunjung ke Yerusalem bertemu dengan Netanyahu dalam acara American Jewish Community (AJC) Global Forum, lembaga yang juga mengundangnya.
Dilansir situs berita Israel,
Arutz Sheva, Yahya Staquf dipandang sebagai penganjur ko-eksistensi agama, telah bertemu beberapa pemimpin agama selama lawatan di Israel sejak 10 Juni lalu. Adapun pertemuan dengan Netanyahu tidak masuk adalam agenda perjalanan (
itinerary).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepada Yahya Staquf, Netanyahu berbicara soal perkembangan hubungan Israel dengan negara-negara muslim. Dia mengatakan bahwa negara-negara Arab dan Muslim sedang berusaha saling mendekat dengan Israel, di tengah kekhawatiran tentang Iran dan ISIS, serta untuk mendapatkan manfaat dari teknologi Israel.
"Israel adalah negara inovasi, dan saya sangat senang melihat bahwa negara-negara Arab dan banyak negara muslim semakin dekat dengan Israel. Saya berharap bahwa kami memiliki perkembangan yang sama dengan Indonesia," kata Netanyahu.
Dalam konferensi AJC, Yahya Staquf menyerukan wacana baru di mana muslim dan non-muslim seharusnya diakui sebagai sederajat.
Di hadapan para hadirin AJC, dia mengakui kehadirannya di Yerusalem atas undangan lembaga Israel telah memancing kemarahan di Indonesia, juga otoritas Palestina, Hamas dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Namun dia menyadari konsekuensi itu dan menegaskan bahwa posisinya tidak berubah yakni tetap membela Palestina.
"Ketakutan saya yang paling mendalam adalah upaya perdamaian yang saat ini menemui jalan buntu. Dengan menerima undangan ini, dimana Israel mau mendengar, saya melihat harapan perdamaian," kata Yahya Staquf dalam forum tersebut, Kamis (14/6).
Kalangan pengamat menyatakan Israel paham betul akan sosok simbolis dari Yahya Staquf. Hal itu menjadi tujuan utama Israel mengundangnya. Israel tidak akan peduli dengan substansi yang disampaikan Yahya Staquf.
Sejak awal kuliah atau acara-acara yang diadakan di Yerusalem memang bertujuan untuk mendorong Yahya Staquf secara simbolis sebagai tokoh muslim Indonesia dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Namun tampaknya Yahya tidak sadar atas permainan propaganda yang gencar dilakukan Israel untuk mencari pengakuan atas Yerusalem, setelah Amerika Serikat memindahkan kedutaannya ke sana.
Ada juga kalangan yang menyayangkan lawatan Yahya Staquf dilakukan di tengah tindakan tentara Israel yang melibas warga Palestina. Lebih dari 130 demonstran Palestina tewas dan ribuan lainnya luka-luka sejak 30 Maret lalu di Jalur Gaza. PBB pun mengutuk aksi Israel tersebut dalam sebuah resolusi, Kamis (14/6).
Namun tak semua ulama dan kalangan di Indonesia menentang lawatan Yahya Staquf ke Yerusalem. Cendekiawan muslim Azyumardi Azra yang berpandangan bahwa perdamaian hanya bisa terwujud lewat dialog mendukung sikap Yahya Staquf.
"Kalau bicara perdamaian, kita harus bicara dengan kedua pihak," kata Azyumardi yang ditemui
CNNIndonesia.com di Studio Trans, Jakarta, Kamis (14/6).
[Gambas:Facebook]Dia juga mendorong lebih banyak lagi kalangan yang berkunjung ke Israel untuk memperluas wawasan dan mendukung perdamaian. "Saat saya masih menjadi Rektor UIN, saya banyak mengirim mahasiswa dan dosen ke Israel," kata Azyumardi yang juga pernah berkunjung ke Israel.
Sebagaimana diketahui, Israel baru-baru ini memberlakukan larangan visa bagi warga Indonesia ke negara itu. Larangan tersebut diberlakukan membalas langkah serupa yang dilakukan pemerintah Indonesia yang mencabut dan menangguhkan visa sejumlah warga Israel.
Pihak Israel menyebut pencabutan visa warganya oleh pemerintah Indonesia terkait kekerasan di Gaza. Pihak Imigrasi yang dihubungi
CNNINdonesia.com menyebut penangguhan visa terkait situasi Surabaya yang baru dilanda serangan bom bunuh diri. Belakangan Israel menangguhkan larangan visa bagi WNI hingga 26 Juni.
(nat)