Jakarta, CNN Indonesia -- Duduk sendirian di sebuah caravan yang rusak, sambil minum kopi dari cangkir kecoklatan di Kamp Pengungsi Zaatari, Mohammed Jokhadar berusaha mengingat-ingat kenangannya kembali.
Dia adalah seorang pengungsi Suriah, yang seperti banyak pengungsi lain, harus meninggalkan kehidupan yang lama akibat perang yang berkecamuk di sana.
Tinggal di kamp pengungsi, dia harus menghadapi kenyataan. "Saya sadar bahwa saya di sini dan tidak akan pergi," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikelilingi tenda kanvas, gedung-gedung semi permanen dan harapan yang telah hilang, Jokhadar memilih untuk menjalani kehidupan yang baru dan merebut peluang dalam kamp.
Sekarang, ia tak hanya memiliki sebuah barbershop tetapi juga menjadi seniman yang mengguratkan berbagai peristiwa menyedihkan di Tanah Airnya.
Krisis PengungsiKamp pengungsi Zaatari di Provinsi Mafraq, dibangun pada 2012 untuk menampung pengungsi Suriah seperti Jokhadar, yang melarikan diri dari konflik militer di negaranya. Data Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNHCR) mencatat sedikitnya terdapat 80,000 pengungsi Suriah.
Pada 2014 UNHCR menyatakan, ada 68,5 juta orang di seluruh dunia yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya. Jumlah pengungsi dan pencari suaka terus meningkat, sebagian besar akibat perang Suriah.
Kamp pengungsi Zaatari tidak lagi dianggap tempat yang sunyi dan suram. Dalam 6 tahun, tanah kosong yang tandus telah diubah menjadi kota metropolis, karena kerja keras dan bakat para penduduk untuk membentuk sebuah komunitas.
Pilihan SulitJokhadar, 32 tahun, dan keluarganya terpaksa meninggalkan rumah mereka di Kota Homs pada 2012, saat kota itu dihujani mortir.
Awalnya, dia dan keluarganya berpindah sekitar Suriah. "Kami kira kami bisa tinggal sekitar perbatasan Suriah sampai situasi Homs mereda," katanya. Tapi hal itu tidak pernah terjadi.
Pada Januari 2013, Jokhadar bersama istri dan putrinya yang masih berusia sembilan bulan tiba di Kamp Pengungsi Zaatari dengan berjalan kaki. Juga kedua orang tuanya yang lanjut usia, kakak dan iparnya, serta tiga anak mereka. Dua tahun kemudian, istri Jokhadar melahirkan seorang putra di dalam kamp pengungsian.
"Saya tahun kehidupan di kamp pengungsi akan sulit," kata dia. "Tapi kami akan sampai di titik dimana kami harus memilih antara menjalani hidup yang sulit, atau, moga-moga tidak, kehilangan salah satu anggota keluarga kami."
Gaya Lukisan BerubahSaat di Suriah, Jokhadar bekerja dalam bisnis konstruksi yang dimiliki oleh keluarganya. Tapi ia sudah lama tertarik dengan seni.
Di kelas lima, saat masih bersekolah, guru seni mendorong dia untuk mengejar bakat seninya. "Dia bilang bahwa saya ditakdirkan untuk menjadi pelukis," katanya.
Jokhadar memulai melukis sejak masih di Homs selama berjam-jam, kadang sejak matahari tenggelam hingga fajar menyingsing. Lukisannya kaya warna. Spesialisasinya potret wajah yang cantik, penuh harapan.
Sejak menjadi pengungsi, Jokhadar mengekspresi diri dan mencari penghiburan melalui seni -walaupun gaya lukisannya dan warna-warna yang ia pilih berubah karena perang.
"Saya mulai ingin menyampaikan sesuatu lewat karya seni saya, sebuah pesan," katanya. "Kehidupan saya sulit dan saya ingin menggambarkannya lewat lukisan-lukisan saya.
Dalam kamp pengungsi, Jokhadar menjadi relawan di salah satu sekolah sebagai guru seni. Untuk mencari nafkah, ia membeli sebuah barbershop sehari setelah masuk ke Kamp Pengungsi Zaatari.
Ia bekerja di sana pada siang hari, tetapi Jokhadar merasa paling bahagia saat mengenggam kuas di tangannya.
Saat stafnya mengurus para pelanggan, Jokhadar pun melukis di pojok toko. Para pelanggan banyak yang tertarik dengan kesibukannya dan meminta ikut melukis dengannya di pojok seninya.
Kini, saat ia tidak sedang mencukur, Jokhadar mengajar pengungsi lain soal dasar-dasar seni.
Mengatasi Segala RintanganJokhadar bukan satu-satunya pengungsi yang membawa kreativitas ke Kamp Pengungsi Zaatari. Ada pula Safwan Harb, 28 tahun, pengungsi asal Kota Daraa, wilayah selatan Suriah yang pindah ke Kamp Pengungsi Zaatari pada 2013.
Saat kanak-kanak, Harb mengidap polio yang menyebabkan tungkai bawahnya lumpuh. Namun, dia tak membiarkan penyakit menghentikannya dari berkarya.
Pada 2014, Harb dan saudaranya mendirikan Kelompok Seni Suriah, yang terdiri atas 30 anggota. Mereka mengadakan pementasan drama dan melatih kemampuan akting, memproduksi dan membuat naskah. Kelompok tersebut tampil di berbagai acara sekitar wilayah kamp.
"Kelompok ini seperti keluarga saya," kata Harb. "Kami telah menemukan kegemaran masing-masing dan membangun komunitas yang saling mendukung."
Paul Fean dari Dewan Pengungsi Norwegia di Jordania, membantu mengembangkan kemampuan para pengungsi muda dan mengajar mereka untuk menjalin hubungan.
Fean menyatakan Harb dan Jokhadar mewakili semangat kewirausahaan dan kreatif yang dia temukan di berbagai kamp pengungsi.
"Pengalaman saya bekerja dengan para pengungsi," kata Fean, "Mereka memiliki motivasi, minat dan keinginan yang keras untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi mereka, keluarga dan komunitasnya."
Fean ditugaskan ke salah satu kamp yang berhasil memperoleh listrik karena mereka berlatih untuk mengelas. Komunitas di kamp lain semakin leluasa bepergian karena para pengungsi memperbaiki sepeda-sepeda tua dan mendistribusikannya sekitar daerah kamp.
"Para pengungsi mempunyai banyak ketrampilan dan potensi yang sangat bermanfaat," kata Fean. "Mereka hanya membutuhkan kesempatan dan dukungan kita."
(sab/nat)