Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok
ISIS mencoba mengembalikan kembali kejayaannya dengan mempergunakan taktik kejam yang membuat nama kelompok ini dikenal secara global melalui penculikan dan eksekusi kelompok minoritas seperti
Druze. Taktik ini terlihat diterapkan ketika kelompok ini menculik warga Druze pada 25 Juli lalu.
Dan minggu lalu ISIS memenggal seorang pelajar suku Druze Suriah, dari sekitar 30 warga kelompok ini yang diculik setelah melakukan serangan bom bunuh diri, penembakan dan penusukan di provinsi Sweida, Suriah.
Meski media resmi ISIS dengan cepat menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu, saluran-saluran propaganda kelompok ini tidak menyebut soal penculitan warga Druze.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di satu pihak mereka secara terbuka mengaku membunuh orang, di balik layar mereka menyandera dan melakukan pertukaran sandera," kata Hassan Hassan, dari Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah kepada
AFP. "Ini kuncinya, seluruh aksi ini merupakan upaya menghidupkan kembali sel-sel ISIS, mengumpulkan kembali sumber daya, dan mengisi kembali posisi-posisi kepemimpinan yang kosong dengan orang yang pernah diculik atau dipenjara," kata Hassan.
Kejayaan ISIS turun sejak mendeklarasikan "kalifah" di Suriah dan Irak pada 2014. Di wilayah kekuasaannya itu kelompok ini menerapkan aturan Islam ultra-konservatif seperti menerapkan eksekusi di depan umum.
 Taktik mensasar kelompok minoritas dilakukan ISIS sejak 2014 ketika kelompok ini menyandera ribuan perempuan Yazidis di Irak. (ReutersAko Rasheed) |
Tahun lalu, kelompok ini kehilangan dua wilayah terkuat mereka di Mosul dan Raqa. Beberapa bulan lalu mereka juga dipaksa mundur dari satu posisi kuatnya di ibu kota Suriah, Damaskus.
Sebagian besar pemimpin tertinggi ISIS, termasuk warga dari negara di luar Suriah dan Irak, tewas, sementara sejumlah lainnya ditahan oleh pemerintah Suriah atau pasukan yang didukung oleh Amerika Serikat.
Meski sayapnya telah dipatahkan, ISIS akan terus menerapkan taktik "penculikan yang dilakukan dengan cepat".
"Pemerintah (Suriah) kini stabil dan aman, tetapi warga yang menjadi korban langsung (ISIS)," kata Hasan.
ISIS mempergunakan taktik serupa di Irak dan Suriah timur laut ketika pada 2015 mereka menculik 220
warga Yazidis yang kemudian ditukar dengan uang tebusan berjumlah besar.
Kini, perundingan terkait nasib warga Druze yang diculik dan disandera, 14 perempuan dan 15 anak, oleh ISIS dilakukan dengan koordinasi antara Rusia dan pemerintah Suriah.
Remaja yang dipenggal oleh ISIS minggu lalu itu disandera bersama ibunya.
Keluarga korban menerima rekaman video yang memperlihatkan remaja itu menyatakan pesan terakhir sebelum dibunuh, proses pemenggalan dan jenazahnya.
Ini merupakan episode paling baru dari aksi yang dimulai dengan serangan pada ISIS 25 Juli yang menewaskan lebih dari 250 orang, sebagian besar warga sipil.
Kekerasan membuat warga Druze Suriah marah karena selama tujuh tahun konflik kelompok ini relatif tidak disentuh.
Pengamat mengatakan perilaku mengejutkan dan penuh teror ini memang modus operandi ISIS sejak lama.
"Mereka memerlukan sasaran lemah, sama seperti ketika mereka menyerang Barat. Sasaran lemah yang bisa memaksimalkan jangkauan mereka, serangan yang merusak sistem pendukung. Ini strategi memecah dan menguasai," kata Hassan.
Mungkin serangan ISIS terhadap kelompok minoritas paling diingat adalah serangan ke warga Yazidis Irak pada 2014. Saat itu ISIS memaksa puluhan ribu anggota kelompok agama kecil ini melarikan diri, menahan anak perempuan dan kaum perempuan sebagai hadiah perang.
 Ibu kota kalifah ISIS Raqa di Suriah berhasil direbut oleh lawan-lawan kelompok teroris yang menerapkan hukum Islam ultrakonservatif. (Reuters/Erik De Castro) |
Khattar Abou Diab, pakar Suriah yang tinggal di Paris, mengatakan serangan ke warga Druze ini mirip seperti di zaman kegelapan.
"Tindakan dan pelecehan yang dilakukan terhadap warga sipil Druze sejak Rabu Kelam (25 Juli) sangat mirip dengan serangan yang dilakukan ISIS ke warga Yazidis Irak.
"Bagi masyarakat itu menyandera kaum perempuan melanggar batas," tambahnya.
Warga Druze, yang sebelum perang berjumlah tiga persen dari populasi Suriah, menganut kepercayaan rahasia yang dipandang sebagai sempalan agama Islam tetapi ISIS menganggapnya ajaran sesat.
Para pemimpin Druze berusaha mempertahankan kesepakatan dengan pemerintah Suriah: sebagai imbalan kesetiaan mereka, pria Druze dibebaskan dari wajib militer atau tidak dikirim berperang di lokasi yang jauh dari rumah mereka.
Pakar jihadis asal Belgia, Peiter Van Ostaeyen, mengatakan dengan mensasar Druze, ISIS berusaha merusak hubungan itu.
"Serangan terhadap komunitas Druze di Sweida bertujuan menciptakan pemberontakan, dan upaya membuat mereka melawan rejim yang berkuasa," katanya.
"Lagi pula, ini adalah taktik lama ISIS selama bereinkarnasi: mencoba menciptakan situasi anarkis, muncul perlawanan dan pada akhirnya berkuasa ketika terjadi kekacauan."
ISIS menyempurnakan strategi ini di awal kelahirannya ketika kelompok ini masih merupakan Negara Islam di Irak.
ISIS akan terus melancarkan taktik menculik warga minoritas, seperti Druze, hingga bisa berjaya kembali dengan menguasai wilayah dan gaung nama besar di tingkat global yang pernah dinikmati.
"ISIS dan kelompok teroris lain akan terus melakukan serangan di Suriah, dan kelompok minoritas akan menjadi sasaran utama mereka," kata Frabrice Balache, seorang pakar masalah Suriah. "Meski sekarang ISIS tidak menguasai wilayah, kelompok ini masih berjuang di bawah tanah."
(yns)